TEMPO.CO, Bojonegoro-Perum Badan Urusan Logistik Subdivisi Regional III Bojonegoro mengejar target dengan memborong gabah kering giling dan gabah kering panen dalan jumlah besar dari masyarakat. Aksi borong itu dilakukan setelah Bojonegoro, Tuban dan Lamongan memasuki masa panen kedua pada Mei 2015.
Menurut Kepala Perum Bulog Subdivisi Regional III Bojonegoro Efdal Marlius Sulaiman memasuki musim panen kedua, pihaknya tengah mengumpulkan gabah dalam jumlah besar untuk 2015. Sebab, dari target sekitar 90 ribu ton, penyerapannya baru di bawah 25 ribu ton. ”Kita tengah borong gabah,” ujarnya pada Tempo, Minggu, 10 Mei 2015.
Baca Juga:
Menurut Efdal masih kecilnya gabah yang diserap Bulog Bojonegoro dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, soal kualitas gabah yang belum masuk kualifikasi. Misalnya, untuk gabah kering panen dengan harga Rp 3.700 per kilogram kadar airnya harus 25 persen. Sedangkan untuk gabah kering panen dengan harga Rp 4.650 per kilogram kadar airnya harus 14 persen. Dengan kualifikasi seperti itu maka Bulog lebih mudah untuk mengolahnya menjadi beras.
Selain itu, lanjut Efdal, para petani terkadang juga kerap diombang-ambingkan tengkulak. Dengan modal besar, biasanya para tengkulak menawarkan harga tinggi kepada petani. Padahal, jika saja petani sabar dan ikut membantu Bulog, harusnya bisa dijual ke pemerintah. ”Tetapi kita tidak bisa menyalahkan petani, karena ini pasar bebas,” ujarnya.
Memasuki musim panen ke dua, harga gabah hasil panen di Bojonegoro terus anjlok. Padahal lahan sawah di sepanjang bantaran Bengawan Solo di Kecamatan Gayam, Purwosari, dan Kalitidu tengah melimpah.
Yanto, 45 tahun, petani di Desa Purwosari, Kecamatan Purwosari, Bojonegoro mengatakan harga jual gabah merosot sampai pada kisaran Rp 3.500 per kilogram. Karena itu dia memilih menunda penjualan dan menunggu harga gabah bagus. ”Belum akan saya jual,” ujarnya.
Candra, salah seorang penyuplai beras ke Bulog berujar gabah yang dijual ke pemerintah harus memenuhi kualifikasi karena berkaitan dengan mutu dan kualitasnya jika sudah menjadi beras. Apalagi, beras dari Bojonegoro, Tuban dan Lamongan kerap dikirim ke luar Pulau Jawa. “Jadi, kita beli ke petani harus gabah yang sudah kering,” ujar pengusaha beras asal Lamongan ini.
SUJATMIKO