TEMPO.CO, Jakarta - Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Sabda Raja pekan lalu. Salah satu isinya mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana mengatakan perjanjian itu sebenarnya memang sudah tidak berlaku lagi.
"Sebab perjanjian itu memang tak berlaku lagi setelah Mataram lama runtuh," kata Margana kepada Tempo, Sabtu, 9 Mei 2015. Tampaknya, kata Margana, Sultan pun berpikir demikian sehingga perjanjian itu diubah. "Keraton ingin mengikuti perkembangan zaman sekarang," ujarnya.
Margana menuturkan, perjanjian antara Giring dan Pemanahan itu adalah simbol legitimasi kekuasaan saat itu. Pada masa itu, Kerajaan Mataram dikenal dengan Mataram lama atau Mataram kuno. Sedangkan masa setelah Pemanahan hingga Keraton Ngayogyakarta saat ini dikenal dengan Mataram Baru.
Mataram baru pun muncul ditandai dengan selesainya era Mataram lama. Perbedaan era itu ditandai dengan agama yang tumbuh saat itu. "Mataram lama identik dengan Hindu sedangkan Mataram baru itu islam," ujarnya. Karenanya, menurut dia, Sultan menganggap era Mataram baru datang sejak Panembahan Senopati, anak Ki Ageng Pamenahan memimpin Mataram.
Intinya, kata Margana, tidak ada persoalan jika perjanjian tersebut dihapuskan oleh Sultan Hamengkubowono X melalui Sabda Raja. "Karena memang sudah tak berlaku lagi sejak Mataram baru," ujarnya. Mataram pun telah dianggap sebagai kesatuan.
NINIS CHAIRUNNISA