TEMPO.CO, Bandung - Pengelola Bandung Techno Park membuat Mobitick. Perangkat berbasis teknologi informasi itu berfungsi mencegah tindak korupsi awak kendaraan umum, seperti bus antar kota, yang merugikan pemilik. Alatnya bisa memantau pemasukan uang langsung dari penumpang dan perjalanan setiap armada bus.
Mobitick merupakan singkatan dari mobile ticketing bus system. Perangkat ini berbasis sistem operasi Android. Aplikasi atau perangkat lunak itu menampilkan pilihan kota tujuan bus antar kota dan grafik perjalanan bus berupa garis lurus dari titik pemberangkatan.
Mengandalkan hubungan Internet, data langsung terangkut ke server dan bisa langsung dipantau pemilik atau perusahaan. "Datanya real time, jadi bisa dipantau di mana pun," kata seorang tenaga ahli Bandung Techno Park, Zulfikar Ramli, kepada Tempo, Kamis, 6 Mei 2015.
Perangkat kerasnya memakai komputer tablet atau telepon seluler pintar. Alat itu tak harus baru, bisa yang sudah di tangan kondektur, supir bus, dan pemilik atau pengelola angkutan. Alat tambahannya berupa mesin pencetak kecil untuk tanda bukti atau resi pembayaran tiket bagi penumpang.
Cara kerjanya, sebelum naik bus, penumpang harus memilih kota tujuan dari titik pemberangkatan bus. Misalnya, dari Bandung ke Solo. Setelah kota tujuan ditekan di layar monitor, ke luar harga tiket yang langsung tercetak di mesin. Setelah membayar, transaksi selesai, penumpang tinggal memilih tempat duduk. "Ini untuk bus ekonomi yang bayar langsung di tempat, jadi bukan untuk pemesanan tiket," kata Zulfikar.
Dengan begitu, transaksi bisa langsung dipantau. Penghasilan tiket pun bisa langsung dihitung pengelola bus. "Sebuah perusahaan bus minta ke kami karena kebocorannya sampai miliaran rupiah," kata Direktur Bandung Techno Park, Jangkung Raharjo.
Sejak 2012-2013, perangkat itu sempat dipakai itu untuk bus tujuan Semarang ke kota sekitarnya. Saat itu ukurannya masih besar. Versi ketiga sekarang ini jauh lebih ringkas. Selain untuk bus ekonomi, aplikasi itu bisa dipakai untuk moda transportasi umum lainnya, seperti kereta api.
ANWAR SISWADI