TEMPO.CO , Batang: Greenpeace Indonesia akan melaporkan langkah yang ditempuh pemerintah dalam membebaskan sisa lahan untuk proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang ke Japan Bank International Cooperation (JBIC).
JBIC adalah penyandang dana proyek pembangunan PLTU Batang. “Kami akan meminta JBIC membatalkan pendanaan untuk proyek PLTU Batang,” kata juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Arif Fiyanto, pada Kamis, 7 Mei 2015.
Arif mengatakan, upaya pemerintah mengeluarkan sisa lahan yang belum bisa dibebaskan untuk proyek PLTU Batang dari izin lokasi bertentangan dengan investment saveguard JBIC.
Menurut Arif, JBIC akan memberi pinjaman sebesar 70 persen dari dana sekitar Rp 50 triliun yang dibutuhkan untuk proyek PLTU Batang. Dalam investment saveguard JBIC, ujar Arif, pinjaman itu akan dikucurkan jika proses pembebasan lahannya berlangsung normal, tidak mendapat penolakan dari warga, serta tidak memunculkan konflik.
Mengeluarkan lahan yang masih dikuasai warga penolak proyek PLTU Batang terpaksa ditempuh pemerintah untuk memenuhi target Presiden Joko Widodo. Senin lalu, Presiden Jokowi meminta masalah pembebasan lahan untuk PLTU Batang selesai dalam sebulan. Sehingga pembangunan PLTU berkapasitas 2 x 1.000 megawatt itu bisa dimulai pada Juni 2015.
Menurut Sekretaris Daerah Kabupaten Batang, Nasikhin, lahan yang masih dikuasai warga sekitar 13 persen dari 226 hektare yang dbutuhkan untuk membangun pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara itu. “Informasi dari Badan Pertanahan Nasional, dari 13 persen lahan itu, sekitar 12 hektare di antaranya berada di areal power block,” kata Nasikhin.
Dengan dikeluarkan dari izin lokasi, Nasikhin berujar, pembebasan lahan yang masih dikuasai warga itu sudah di luar wewenang PT Bhimasena Power Indonesia, investor PLTU Batang (konsorsium dari PT Adaro Power dan dua perusahaan Jepang, J Power dan Itochu). Sehingga pemerintah bisa membebaskan sisa lahan itu dengan menerapkan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012.
“Upaya merevisi izin lokasi proyek PLTU Batang itu akal-akalan pemerintah. Kami mengacu pada peta di dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan aturan yang ada,” kata Arif. Dari hasil audiensi Greenpeace Indonesia dengan Kementerian Lingkungan, Arif berujar, Amdal proyek PLTU Batang perlu ditinjau ulang. “Ada kemungkinan akan diminta menyusun Amdal baru,” ujarnya.
Menurut perwakilan warga dari lima desa yang menjadi lokasi proyek PLTU Batang, Roidi, warga tetap tidak akan melepaskan lahannya yang berupa areal persawahan untuk proyek PLTU Batang. “Kami akan tetap bertani. Kami tidak meminta harga tinggi. Kami hanya meminta PLTU berbahan bakar batu bara itu dipindahkan dari Batang,” kata Roidi.
DINDA LEO LISTY