TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Irfan Idris, menyayangkan lemahnya pengawasan di Bandar Udara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab, warga negara Indonesia yang berangkat dari Bandara Juanda tertangkap di Bandara Brunei Darussalam karena kedapatan membawa bahan peledak.
"Kenapa di Brunei baru ketahuan, bukan sejak di Juanda?" kata Irfan saat dihubungi pada Kamis, 7 Mei 2015. Padahal benda yang dibawa seperti peluru dan bahan peledak harusnya dapat terdeteksi dengan perangkat X-ray. Irfan mengimbau pihak Bandara untuk meningkatkan standard operational procedure (SOP) agar tak kecolongan lagi.
Tiga warga Indonesia bernama Rustawi, Pantes Sastro, dan Bibit Hariyanto ditangkap saat transit di Brunei setelah terbang dengan pesawat Royal Brunei dari Bandar Udara Internasional Juanda di Sidoarjo, Sabtu pagi. Mereka bermaksud menunaikan umrah dengan menggunakan jasa biro Al-Aqsa yang berkantor di Kota Malang. Ketiganya transit untuk berganti pesawat yang akan menerbangkan mereka ke Jeddah, Arab Saudi.
Dalam pemeriksaan, petugas keamanan pelabuhan udara Brunei menemukan benda menyerupai bahan peledak di dalam koper yang dibawa Pantes Sastro. Setelah semua barang bawaan mereka diperiksa, petugas pun menemukan bahan sejenis plus empat butir peluru, pisau lipat, dan gunting. Dua WNI lain dipersilakan melanjutkan perjalanan, sementara Sastro masih ditahan aparat setempat.
Untung saja, kata Irfan, bahan peledak itu dapat terdeteksi di Brunei. Bila tidak, benda itu dapat dibawa hingga Timur Tengah, walau sampai saat ini pihak berwajib belum tahu pasti niat dan tujuan WNI tersebut. Menurut Irfan, ketiga WNI itu bepergian dengan paspor resmi. Mereka tidak termasuk dalam daftar pengawasan BNPT karena "Secara administratif mereka lengkap."
Dengan ditemukannya benda-benda tersebut dalam koper Sastro, Irfan memastikan BNPT akan mengamati tindak-tanduk kelompok itu. "Kalau memang mereka sekelompok, perlu diwaspadai," ucap Irfan.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA