TEMPO.CO , Jakarta: Beberapa bulan belakangan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X melakukan gebrakan-gebrakan yang dinilai kontroversial. Terakhir, Sultan mengorbitkan putri sulungnya menjadi calon penerusnya. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun oleh ayahnya dinobatkan sebagai putri mahkota dalam Sabdaraja kedua yang diucapkan di Sitihinggil, Keraton Yogyakarta pada Selasa, 5 Mei 2015 kemarin.
“Namanya diganti menjadi GKR Mangkubumi. Sultan sudah menjelaskan GKR Mangkubumi sebagai calon penggantinya,” kata kerabat keraton yang mengikuti prosesi Sabdaraja saat kepada Tempo.
Ada beberapa permasalahan utama yang tengah dihadapi Yogyakarta saat ini yang harus dihadapai putri sulung Sultan tersebut.
Calon Gubernur
Salah satu ganjalan bagi puteri sulung Sultan adalah peraturan pencalonan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menyebutkan gubernur harus dijabat oleh laki-laki. Syarat menjadi gubernur menurut Pasal 18 ayat C dan M Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY adalah:
Ayat C, bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur.
Ayat M, menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Syarat itu akhirnya disetujui DPRD Yogyakarta Maret lalu. Sultan langsung mengeluarkan sabdatama pada 6 Maret menyatakan raja keraton Yogyakarta bisa saja laki-laki atau perempuan. Semua pihak mengetahui alasan Sultan adalah karena dia hanya mempunyai anak perempuan. Pada 5 Mei lalu, akhirnya Sultan memang secara jelas mencalonkan anaknya sebagai putri mahkota.
Sultan Ground
Masalah lain dalam lingkup kesultanan yang bakal menjadi polemik adalah tanah milik Kesultanan Yogyakarta atau Sultan Ground. Tanah tersebut merupakan milik Keraton yang belum diberikan haknya kepada masyarakat maupun pemerintah. Sultan Ground sejak 2013 sudah ditolak kalangan masyarakat. "Ini praktek feodalisme. Kerajaan semakin menguasai tanah rakyat,” kata Restu Baskara, juru bicara Komite Perjuangan Rakyat Yogyakarta, sebelumnya.
Walaupun begitu, Sultan tetap mengeluarkan peraturan pendukung Sultan Ground. Pada Februari 2015, Sultan memutuskan tanah kas desa yang sudah berganti nama pemerintah desa harus tetap dialihkan menjadi milik kesultanan dan kadipaten. Tanah Sultan Ground antara lain: Alun-alun, Kepatihan, Pesangraham Amborukmo, dan Masjid Besar. Warga sendiri yang mendiami Sultan Ground khawatir sewaktu-waktu dapat terusir.
Dana Keistimewaan
Hasrat Sultan mewarisi tahta kepada putri sulungnya juga dikhawatirkan beberapa kalangan akan menghapus dana keistimewaan. Pimpinan lembaga Jaringan Masyarakat Peduli Keistimewaan, ‘Ayodya’ Kyai Haji Muhammad Jazir mensinyalir dana keistimewaan sebesar Rp 500 miliar setahun bakal dihapus oleh pemerintah pusat. “Status keistimewaan dalam undang-undang itu bukan tak mungkin diamandemen lagi dan bisa berdampak besar, termasuk pada nasib dana keistimewaan,” ujarnya.
Pengelolaan Pemerintahan
Pengalaman Sultan Hamengku Buwono IX yang berkuasa sejak 1988 tentu tidak sebanding dengan putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun. Jika benar Gusti Raden Ajeng Nurmalitasari, begitu nama asalnya, bakal menggantikan ayahnya, maka salah satu tugas utamanya mengelola anggaran pemerintah yang tidak kunjung digunakan secara optimal.
Anggaran dana keistimewaan pada 2013 sebesar Rp 115,6 miliar hanya mampu terserap sebesar 24,8 persen saja atau Rp 28,7 miliar. Dana yang cair pada November 2013 awalnya sebesar Rp 231 mliar namun dikoreksi Kementerian Keuangan menjadi Rp 115,6 miliar. Angka dana keistimewaan pada 2014 lebih besar dan Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta hanya mampu menggunakan anggaran dana keistimewaan sebesar Rp 418 miliar dari jatah Rp 523 miliar.
EVAN | PDAT (berbagai sumber, diolah Tempo)