TEMPO.CO, Batang - Keputusan Presiden Joko Widodo, yang tidak akan memberi kelonggaran waktu lagi bagi proses pembebasan sisa lahan untuk proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang, menuai kritik dari sejumlah kalangan.
“Siapa pun tidak bisa mengintervensi proses hukum, termasuk presiden,” kata Ketua Biro Konsultasi dan Badan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang, Sukarman, Rabu, 6 Mei 2015.
Senin lalu, presiden menyatakan, kelonggaran waktu tambahan untuk pembebasan lahan PLTU Batang hanya satu bulan. Sehingga pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 2 x 1.000 megawatt itu bisa dimulai Juni 2015.
Pernyataan itu disampaikan presiden di sela peluncuran program 35 ribu megawatt untuk Indonesia di Pantai Goa Cemara Bantul. Sebelumnya, presiden telah memberi waktu empat bulan, namun hasilnya nihil.
Untuk memenuhi target yang telah ditetapkan presiden, tim dari Pemerintah Kabupaten Batang akan mengeluarkan lahan yang selama ini masih dikuasai warga dari izin lokasi proyek pembangunan PLTU Batang.
Dengan merevisi izin lokasi, pembebasan lahan yang luasnya sekitar 25,4 hektare, dari total 226 hektare untuk proyek PLTU Batang), di luar kewenangan investor, PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). Sehingga pemerintah bisa membebaskan lahan itu dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sukarman mengatakan, penerapan undang-undang itu membutuhkan proses panjang. “Jika warga pemilik lahan tidak sepakat dengan harga yang ditetapkan, warga bisa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Batang,” katanya.
Jika warga masih keberatan dengan putusan PN Batang, Sukarman menambahkan, warga bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. “Kalau ada revisi izin lokasi, AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) juga harus diatur ulang,” kata Sukarman.
Proses penyusunan AMDAL baru itu, juga akan memakan waktu lama karena ruang lingkup studinya berubah. “Seluruh proses itu harus berjalan sesuai mekanisme, tidak bisa harus selesai dalam satu bulan. Itu namanya intervensi,” kata Sukarman. Dia juga menilai Undang Undang Nomor 2, Tahun 2015, menempatkan warga pemilik lahan sebagai pihak lemah.
Jika warga tetap tidak menerima putusan MA yang berkekuatan hukum tetap, pemerintah akan menempuh konsinyasi. “Ujung- ujungnya bisa terjadi langkah represif,” katanya.
Menurut juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Arif Fiyanto, Presiden Jokowi, tidak memberi kelonggaran waktu lagi dalam proses pembebasan sisa lahan PLTU Batang karena terlanjur malu.
“Di Jepang, presiden mengatakan urusan pembebasan lahan sudah selesai. Ternyata, semua itu hanya laporan ABS (asal bapak senang) dari bawahannya,” kata Arif. Dia meminta presiden blusukan ke lokasi PLTU Batang agar mengetahui realita di lapangan.
Ihwal rencana revisi izin lokasi proyek PLTU Batang, Sekretaris Daerah Kabupaten Batang, Nasikhin, mengatakan bupati akan menerbitkan surat untuk PT BPI perihal persetujuan mengakhiri izin lokasi untuk lahan yang belum bisa dibebaskan oleh PT BPI.
“Hanya itu saja. Dokumen AMDAL-nya tetap yang lama, hanya ada sedikit addendum (tambahan klausul),” kata Nasikhin, usai rapat rencana revisi izin lokasi proyek PLTU Batang.
Berkaitan dengan panjangnya proses penerapan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 untuk membebaskan lahan yang masih dikuasai warga, Nasikhin optimistis akan ada percepatan waktu. Sehingga Pemkab Batang belum akan mengajukan tambahan kelonggaran waktu kepada presiden.
DINDA LEO LISTY