TEMPO.CO, Kupang - Direktur Eksekutif Center For Climate Risk and Opportunity Management in South Asia and Pacific Prof Dr Rizaldi Boer mengatakan hasil penelitian yang dilakukan CCROM menunjukkan terdapat sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur yang berpotensi menjadi gurun.
"Ada sejumlah daerah di NTT ini yang terancam menjadi gurun jika masalah lingkungan hidup tidak dirawat dengan baik," kata Rizaldi kepada wartawan di Kupang, Selasa, 5 Mei 2015.
Proses penggurunan di NTT, menurut Rizaldi, sudah terlihat dari sekarang, karena rendahnya curah hujan di sejumlah daerah. Karakteristik dari gurun adalah tingginya evakurasi hujan, yakni hujan yang jatuh jauh lebih kecil daripada evakurasi air dari bumi ke atmosfer.
Rizaldi menjelaskan, semakin besar perbedaan evakurasi tersebut, semakin kering wilayah itu. Jika semakin kering, ada kemungkinan bisa menjadi gurun.
Faktor-faktor lain yang ikut mendorong terjadinya penggurunan di NTT, ucap dia, adalah eksploitasi air tanah dan pembukaan lahan tambang. Apalagi NTT merupakan daerah yang relatif kering, sehingga evakurasi air sudah melebihi hujan yang ada.
Karena itu, perlu adanya pemetaan lokasi pertambangan dan pemahaman akan perubahan iklim, sehingga bisa meminimalkan ancaman penggurunan. "Harus ditentukan di mana saja lokasi-lokasi yang bisa ditambang dan mana yang tidak," kata Rizaldi.
Rizaldi berujar, ancaman penggurunan sudah mulai kelihatan di dua daerah di NTT, yakni Sabu Raijua dan Sumba Timur. Di daerah itu, kemarau semakin panjang, dengan curah hujan yang rendah. Proses penggurunan itu terjadi karena rendahnya curah hujan. "Sabu Raijua dan Sumba Timur, jika dalam empat bulan tidak hujan, akan semakin kering," ucap Rizaldi.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah NTT Ferdik Tielman menuturkan hasil penelitian ini merupakan peringatan bagi warga setempat agar bisa mengelola dan menjaga lingkungan dengan baik. “Pengelolaan lingkungan harus memperhatikan perubahan iklim. Bisa saja, daerah itu menjadi gurun jika tidak dirawat sejak sekarang,” kata Ferdik.
YOHANES SEO