TEMPO.CO , Yogyakarta: Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), lembaga swadaya yang berkonsentrasi pada isu keberagaman, menyebutkan aksi intoleransi di wilayah Kabupaten Gunungkidul selama periode tahun 2010- 2015 termasuk yang tertinggi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Pola dan modusnya hampir seragam antara satu aksi dan aksi lainnya,” ujar Koordinator ANBTI wilayah DIY, Agnes Dwi Rusjiati kepada Tempo Minggu, 3 Mei 2015.
Catatan tim peneliti lembaga itu, setidaknya ada lima kasus tindakan intoleran yang terjadi kurun waktu lima tahun ini yang dilakukan kelompok atas nama agama kepada pemeluk agama lain. Kelima kasus itu yakni penyegelan gereja Widoro, Kecamatan Girisubo, penyegelan gereja di Kecamatan Playen, penolakan perayaan Paskah Adiyuswa Sinode, penghentian paksa proses pembangunan Gua Maria Wahyu-Ibuku Giriwening, Kecamatan Gedangsari, juga penutupan paksa gereja di Kecamatan Semanu.
Aksi intoleran itu muncul dengan modus dan pola pertama-tama cenderung mempersoalkan izin administratif dan legalitas bangunan fisik tempat ibadah masyarakat. Contohnya Izin Mendirikan Bangunan serta keramaian. Persoalan itu dimunculkan kelompok tertentu melalui konsolidasi dan mobilisasi dengan segelintir warga kemudian dibawa ke forum untuk menekan pemerintah dan kepolisian.
“Kami mengindikasikan kelompok intoleran yang berasal dari luar Gunungkidul ini justru punya kekuatan massa untuk menekan pemerintah daerah dan kepolisian sehingga menuruti kemauan mereka,” ujar Agnes.
Adapun acuan terkait administrasi dan legalitas bangunan tempat ibadah yang dipersoalkan ketika di tangan pemerintah dan kepolisian adalah Peraturan Bersama Menteri yang terbit tahun 2006.
Menurut ANBTI, tafsir Peraturan Bersama Menteri tahun 2006 ini rentan dibelokkan oleh pemerintah dan kepolisian demi mencapai kondusifitas meskipun kenyataannya terjadi tindakan intoleran terhadap kelompok pemeluk agama tertentu.” Misalnya yang diungkap dari aturan itu agar tempat ibadat mendapatkan izin pemerintah, harus memenuhi kuota minimal 90 umat dan persetujuan 60 warga sekitar tempat ibadat,” ujar dia.
Padahal dalam peraturan itu pun ada klausul menyebut jika rumah ibadat sudah berdiri sebelum peraturan bersama itu terbit, maka pemerintah dan kepolisian direkomendasikan memberikan perizinan. “Ada gereja yang beroperasi sejak 1989 tapi tetap disegel dan diminta mengurus administrasi dan legalitas, ini konyol,” kata dia.
Agnes pun menduga gencarnya aksi intoleran di Gunungkidul memiliki keterkaitan dengan peta politik lokal di wilayah itu sebagai kabupaten terluas di DIY. Ia menduga mobilisasi massa dengan mengatasnamakan agama untuk menegaskan eksitensi kelompok politik tertentu. “Karena dari seluruh kasus intoleran, kejadiannya cenderung berdekatan dengan momen politik, baik pemilu lokal atau nasional,” ujarnya.
Dalam penelitian aksi intoleran itu setidaknya dilakukan lima orang terlibat dari lintas bidang. Seperti bekas mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Gunungkidul Bekti Wibowo Suptinarso, tokoh Forum Kerukunan Umat beragama Gunungkidul Christiana Riyadi, juga kalangan jurnalis lokal Endro Guntoro serta rohaniwan Stefanus Iwan Listyanto.
Dalam laporannya yang sudah dikirimkan pada Presiden Joko Widodo dan juga pemerintah DIY akhir Desember 2014 lalu, Agnes mendesak pemerintah tegas menegakkan hukum dan menjamin kebebasan beragama warga karena aksi intoleransi di Gunungkidul termasuk tertinggi di wilayah DIY.
Anggota tim peneliti lainnya, yang juga tokoh FKUB serta Wakil Ketua Badan Kerjasama Gereja Kristen DIY Pendeta Christiana Riyadi menuturkan sampai akhir tahun 2014 lalu, setidaknya masih ada tiga gereja kristen di Gunungkidul yang disegel kelompok ormas keagaamaan tertentu karena dianggap tidak berizin. Gereja itu ada di wilayah Dusun Widoro Desa Balong Kecamatan Girisubo, satu gereja di wilayah Kecamatan Semanu, dan satu gereja lagi di wilayah Playen.
PRIBADI WICAKSONO