TEMPO.CO, Jakarta - Perahu yang memuat empat wisatawan itu meliuk-liuk di hutan mangrove seluas 9 kilometer persegi di Pulau Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Nyoman Lendre hanya menggunakan sebilah bambu untuk mengemudikan perahu miliknya yang panjangnya enam meter.
“Mangrove Tour ini memang tidak boleh menggunakan perahu bermotor agar tidak merusak lingkungan,” kata Lendre yang menerima bayaran Rp 75.000 kepada Tempo di Nusa Lembongan, awal April 2015. Selain Lendre ada 33 warga Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan lainnya yang menyewakan perahunya berwisata mangrove selama setengah jam. Mereka membentuk organisasi untuk mengatur antrean perahu dan mempromosikan program wisata itu.
Baca Juga:
Dalam sehari, biasanya Lendre mendapat satu kali penyewaan. Pada musim libur, penghasilannya melonjak karena banyak wisatawan yang datang ke pulau yang lokasinya 30 menit naik kapal cepat dari pantai Denpasar. Dia bisa mendapat tiga sampai empat kali penyewaan.
Mangrove Tour yang terbentuk sejak 2003 memang makin menambah daya pikat Pulau Nusa Dua dan Pulau Nusa Lembongan sebagai daerah tujuan wisata. Para turis juga menyelam untuk menikmati keindahan terumbu karang dan biota laut lainnya di peraitan Nusa Lembongan. Walhasil, banyak anak muda yang terjun ke sektor wisata ini dan menolak sebagai petani rumput laut.
Memang pada periode 1984 – 1994 rumput laut jadi primadona di mana sekitar 95 % warga terlibat ke bisnis yang menjanjikan ini. Sejumlah faktor menjadi penyebab kemunduran bisnis rumput laut. Pertama, serangan penyakit ais-ais dan serbuan gulma. Kedua, pencemaran laut karena makin banyak kapal dari Denpasar yang singgah.
Faktor ketiga, tempat menjemur dijadikan bungalow atau hutan. “Faktor keempat, generasi muda tidak tertarik lagi menjadi petani rumput laut,” ujar Murni, warga lainnya. Kelima, harga rumput laut yang rendah.