TEMPO.CO, Lamongan - Bekas kombatan perang Afganistan, Moro, dan Ambon, Ali Fauzi, mengatakan sikap publik terhadap eksekusi mati narapidana kasus narkoba jauh berbeda dengan kasus terorisme. Ketika narapidana kasus terorisme dihukum mati, dunia internasional membisu. Namun, giliran narapidana narkoba yang ditembak mati, pegiat kemanusiaan dan dunia internasional sangat keras mengecam.
Di Indonesia, kejahatan narkoba, terorisme, dan korupsi sama-sama digolongkan pada extra ordinary crime alias kejahatan luar biasa. ”Narkoba sangat bahaya melebihi teroris,” ujar adik kandung pelaku Bom Bali I, Amrozi dan Ali Ghufron, itu, Rabu, 29 April 2015.
Menurut Ali Fauzy, saat dua kakaknya bersama Imam Samudra dieksekusi mati di Nusakambangan pada 9 November 2008, semua terdiam. Ketika itu, kata dia, hanya keluarga dan teman-teman dekat terpidana mati yang protes. Dunia pun terdiam seolah memberi izin pelaksanaan hukuman mati tersebut. “Ini fakta yang tak terbantahkan,” katanya.
Padahal, jika dibandingkan, kehidupan para narapidana kasus terorisme dan narkoba di Pulau Nusakambangan berbeda. Narapidana terorisme, ujar Ali, mampu bertahan hidup dan bermanfaat bagi lingkungan tahanan. Selain itu, secara mental, narapidana terorisme lebih kuat.
Sebaliknya, kondisi narapidana kasus narkoba rapuh dan tidak punya semangat hidup saat di penjara. Karena sudah kecanduan narkoba, mereka seperti tidak ada motivasi dalam dirinya. Selain itu, narapidana narkoba, seperti Freddy Budiman, justru bisa menjadi bandar di dalam penjara.
Warga Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, itu mendukung orang-orang seperti Freddy Budiman dihukum mati. Sebab, dampak kerusakan akibat narkoba yang ditimbulkan dalam masyarakat sudah jelas. “Tunggu apalagi, eksekusi saja," tuturnya.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung akhirnya mengeksekusi delapan terpidana mati kasus narkoba gelombang kedua pada Rabu dinihari, 29 April 2015. Mereka ialah Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Martin Anderson, Raheem Agbaje, Rodrigo Gularte, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze, dan Zainal Abidin.
SUJATMIKO