TEMPO.CO, Semarang - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah menilai banyak sekali lembaga penyiaran publik (LPP) stasiun radio yang tak dikelola secara serius. LPP lokal yang dulu dikenal dengan sebutan radio siaran pemerintah daerah (RSPD) itu pengelolaannya masih belum maksimal, bahkan ada yang digunakan untuk corong pemerintah daerah.
"Masih banyak pemda yang belum sepenuh hati mengelola LPP lokal. Seolah hanya memenuhi kewajiban mengudara saja," kata komisioner Bidang Perizinan KPID Provinsi Jawa Tengah, Asep Cuwantoro, Selasa, 21 April 2015.
Tak seriusnya pengelolaan itu terlihat dari minimnya alokasi anggaran dalam APBD serta sumber daya manusia yang ditugaskan kurang profesional dan sering dipindah (rolling) ke dinas lain. Saat yang sama, banyak pemda yang memberi beban tuntutan PAD (pendapatan asli daerah) ke pengelola LPP Lokal.
KPID meminta LPP lokal tidak dibebani PAD yang besar agar orientasinya tidak kepada bisnis. Sebab, LPP bukan radio bisnis, tapi untuk pelayanan publik. "Agar siarannya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik," kata Asep.
LPP radio lokal merupakan hasil konversi RSPD sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Menurut Asep, meski sudah berubah bentuk menjadi LPP lokal, tapi masih ada paradigma radio sebagai corong pemerintah daerah setempat. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, LPP lokal adalah radio atau televisi milik publik, bukan milik pemerintah, yang dibiayai oleh APBD dan bersifat independen. KPID meminta LPP radio lokal bersikap independen dalam momentum pemilihan kepala daerah serentak di 21 kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Menurut Asep, posisi LPP radio bisa digunakan untuk menyuarakan kritik dan saran pembangunan oleh masyarakat. LPP radio lokal juga harus menjadi penyeimbang radio dan televisi swasta yang mengedepankan hiburan semata. "LPP lokal harus mengemas kearifan lokal menjadi program acara yang menarik," ujar Asep.
ROFIUDDIN