TEMPO.CO, Jakarta - Wacana pemberian kelonggaran remisi bagi terpidana korupsi menuai pro dan kontra. Meski wacana itu berasal dari Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Komisi dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, justru berbeda pandangan dengan sejumlah koleganya. Ruhut menolak pemberian kelonggaran remisi bagi para narapidana koruptor.
"Kami sepakat hanya untuk whistle blower. Yang lain jangan diberi," kata Ruhut di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 25 Maret 2015. Menurut dia, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang hak warga binaan tak perlu direvisi. "Pemerintahan sebelumnya sudah sepakat yang diberikan remisi hanya yang membantu penyelidikan kasus."
Sejak dua pekan lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengumumkan wacana pelonggaran syarat pemberian remisi kepada koruptor. Pemerintah, atas usul Komisi Hukum, akan merevisi PP 99 Tahun 2012 untuk menciptakan kesamaan hak keringanan hukum kepada terpidana korupsi, narkoba, dan terorisme.
Mereka menganggap syarat remisi sebelumnya terlalu kuat karena hanya diberikan apabila terpidana mau bekerja sama mengungkap pelaku utama dalam kasus kejahatan serta melunasi denda dan uang pengganti yang disyaratkan pengadilan. Namun wacana pelonggaran ini mendapat tentangan dari para pegiat antikorupsi.
Ruhut mengatakan peraturan tersebut cukup adil untuk para terpidana kejahatan luar biasa sehingga tak perlu direvisi. "Kalau perlu, begitu diputuskan oleh pengadilan atau kejaksaan, tak perlu ada remisi," ucap Ruhut.
PUTRI ADITYOWATI