TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara Asad Ali mengatakan Undang-Undang Anti-Terorisme perlu segera direvisi untuk menangkal berkembangnya paham Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS di Indonesia. Poin penting yang perlu direvisi, kata dia, adalah UU itu harus mampu mendeteksi bahkan sejak teror direncanakan.
"Selama ini kalau misalnya ada yang mau menyeberang ke Suriah tapi mengaku umrah, mereka itu tak bisa ditangkap," kata dia dalam diskusi 'Dari Trisakti Melalui Nawacita Menuju Revolusi Mental' yang diselenggarakan Lembaga Pemilih Indonesia di Jakarta, Ahad, 22 Maret 2015.
Tak hanya itu, UU KUHP harus pula merinci penistaan terhadap negara untuk mencegah paham ISIS. "Misal, barang siapa yang berusaha merubah ideologi negara yaitu Pancasila dengan tulisan dan lisan yang berbeda itu bisa di hukum," kata dia. "Itu harus dirinci supaya jelas."
Asad mengatakan revisis UU Anti-Terorisme ini tak bakal bertentangan dengan HAM seperti yang pernah dikritik beberapa lembaga. Agar pelanggaran HAM tidak terjadi kepada terduga teroris, kata Asad, UU ini harus pula menjelaskan dugaan-dugaan yang memungkinkan seseorang dianggap teroris.
"Misal, dia pernah belajar membuat bom di luar negeri, punya buku katalog pembuatan bom, dan lain-lain. Kalau sudah ada dugaan itu, tangkap saja," kata dia. "Hal ini yang lemah dalam UU kita."
Asad meyakinkan pemerintah untuk tak perlu takut bertindak tegas terhadap teroris dan para pendukungnya. "Jangan khawatir kalau Jokowi bakal jadi otoriter. Ini adalah penguatan terhadap negara," katanya.
INDRI MAULIDAR