TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana mengatakan langkah Polri memproses laporan majalah berita mingguan Tempo adalah indikasi kepolisian membuka peluang kriminalisasi terhadap pers. "Kriminalisasi ini memberangus kebebasan pers," katanya di gedung Dewan Pers, Kamis, 5 Maret 2015.
Yadi menuturkan kepolisian tak berwenang memproses laporan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia yang diketuai Fauzan Rahmantu. Lembaga swadaya ini melaporkan Tempo ke Badan Reserse Kriminal Polri terkait dengan artikel "Bukan Sembarang Rekening Gendut” edisi 19-25 Januari 2015 pada halaman 34-35. "Kasus itu wilayah etik. Harusnya Dewan Pers yang tangani," ujarnya.
Dalam majalah Tempo disebutkan adanya aliran dana dari Komisaris Jenderal Budi Gunawan ke sejumlah pihak. Ketua Bidang Multimedia, Teknologi, dan Informasi Persatuan Wartawan Indonesia Priyambodo menuturkan sebenarnya kasus tentang konten dan sampul majalah Tempo sudah diselesaikan di Dewan Pers beberapa waktu lalu.
Priyambodo menyayangkan kasus itu dibuka kembali di jalur kepolisian tanpa meminta pertimbangan Dewan Pers. "Kebebasan pers harus dihormati," katanya.
Selain Tempo, Priyambodo menyatakan sebenarnya kasus Jakarta Post juga sudah diselesaikan di Dewan Pers. Namun, beberapa saat setelah Pemimpin Redaksi Jakarta Post meminta maaf di forum yang difasilitasi Dewan Pers, kepolisian malah menetapkannya sebagai tersangka. "Indikasinya, kepolisian hendak memecah belah pers Indonesia, baik wartawannya maupun organisasi," kata Priyambodo.
Priyambodo berharap pers bisa tetap bersatu menghadapi indikasi kepolisian mengkriminalkan pers. "Kasus yang terjadi pada Tempo dan Jakarta Post bisa saja terjadi pada media lain," tuturnya. Ia menyayangkan kasus yang sudah diselesaikan di Dewan Pers harus dibuka kembali oleh kepolisian melalui jalur pidana.
MITRA TARIGAN