TEMPO.CO, Surabaya - Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur Bobby Soemiarsono mengatakan pengenakan pajak piring kotor bekas makanan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bangkalan merupakan sesuatu hal yang wajar.
Alasannya, pengenakan pajak tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah tentang Pajak Pembangunan, termasuk pajak hotel dan restoran "Tidak ada masalah," ujar Bobby, Selasa, 24 Februari 2015.
Menurut Bobby, pengenaan pajak merupakan kewenangan masing-masing pemerintah daerah sebagai upaya untuk meninggenjot sumber pemasukan pada pendapatan asli daerah. "Sekarang sudah era otonomi daerah, apa yang dilakukan Bangkalan merupakan bentuk kreativitas daerah dalam meningkatkan sumber pemasukannya," ujar dia.
Meski menganggapnya kreatif, namun Bobby menilai, pengenaan pajak piring kotor tersebut tetap harus dilengkapi dengan perturan daerah sebagai payung hukumnya. "Jika tanpa peraturan daerah, pemberlakuan pajak tersebut tidak sah karena tidak mempunyai landasan hukum," kata Bobby.
Sebelumnya, pengusaha kuliner di Bangkalan mengeluhkan banyaknya pajak yang harus dibayar. Salah satunya adalah pajak yang dihitung berdasarkan jumlah piring kotor setiap harinya di tiap rumah makan. "Ini kan aneh, kok pajak dihitung berdasarkan jumlah piring," kata Nal, pemilik rumah makan nasi bebek goreng terkenal di Bangkalan.
Baca Juga:
Pengenaan pajak itu, menurut Nal, memberatkan karena metode pembayarannya terpisah dari pajak rutin bulanan dan tahunan. "Makanya kami tidak mau membuka berapa besaran pendapatan kami setiap bulannya, takut dicatat orang pemerintah, nanti pajaknya dinaikkan lagi," ujar dia.
Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Bangkalan Setia Budi tidak menampik adanya kebijakan pajak piring tersebut. Namun, kata dia, pajak tersebut bukan dihitung berdasarkan jumlah piring, melainkan dari jumlah pengunjung setiap harinya. "Pajak ini legal, diatur dalam undang-undang tentang pajak dan retribusi, namanya intensifikasi pajak," katanya.
EDWIN FAJERIAL