TEMPO.CO , Cilacap -- Pendeta asal Cilacap, Charles Burrows, mengungkapkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam pelaksanaan eksekusi mati gelombang pertama yang terjadi Januari lalu. Terpidana mati asal Brazil, Marco Archer Cardoso, tak sempat ditenangkan dan didoakan sebelum eksekusi.
"Biasanya, sebelum eksekusi, ada kesempatan bagi rohaniawan untuk menenangkan dan mendoakan terpidana. Tapi, tak ada satu pun yang menenangkan dan mendoakan Marco,"ujar Charles sebagaimana dikutip dari Sydney Morning Herald, Minggu, 22 Februari 2015.
Eksekusi Marco memicu reaksi keras dari pemerintah Brazil. Pada bulan Januari, mereka menarik duta besar mereka di Indonesia. Kementerian Luar Negeri membantah penarikan tersebut bersifat permanen.
Reaksi keras tersebut belum berhenti. Menjelang ekseksui terpidana mati terbaru asal Brazil, Ricardo Gularte, pemerintah Brazil menolak Duta Besar Indonesia dalam upacara di negeri samba itu. Presiden Brazil Dilma Rousseff mengatakan, izin kerja untuk Duta Besar Indonesia ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.
Charles mengaku sudah mencoba untuk menemani saat Marco dibawa ke lokasi eksekusi yaitu di lapangan Lapas Besi, Nusakambangan. Namun, petugas lapas tak memberinya izin. Padahal, kata ia, Marco dalam kondisi yang sangat menyedihkan kala itu. "Ia menangis dan meminta tolong. Terus seperti itu, hingga saat-saat terakhirnya," ujar Charles.
Pasca eksekusi mati, jenazah Marco dikremasi sesuai permintaan terakhirnya. Namun, Marco tak dimakamkan di Indonesia melainkan dibawa pulang ke Brazil oleh tantenya. Marco Archer adalah terpidana mati yang tertangkap basah menyelundupkan narkotika seberat 13,4 kilogram dalam rangka gantole-nya tahun 2004 lalu. Oleh Pengadilan Negeri Tangerang ia divonis hukuman mati dan grasinya ditolak Jokowi pada Desember 2014.
ISTMAN MP | SYDNEY MORNING HERALD