TEMPO.CO, Yogyakarta - Penunjukan tiga orang pelaksana tugas (plt) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh presiden dinilai kurang pas. Apalagi salah satunya dari unsur polisi meskipun pernah menjadi pimpinan di komisi itu. Penunjukan Taufiequrachman Ruki itu disinyalir justru hanya sebagai upaya untuk menghentikan kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG).
"Jangan-jangan jalan keluarnya malah menghentikan kasus BG," kata Hifdzil Alim, peneliti senior dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Kamis, 19 Februari 2015.
Selain Ruki yang dinilai tidak pas, Indriyanto Seno Adji juga tidak sesuai dengan kebutuhan KPK saat ini. Sebab, dari sisi umur dan kesehatannya juga kurang fit. “Johan Budi S.P. juga tidak sesuai undang-undang KPK,” ujar Hifdzil.
Sebab, kata Hifdzil, latar belakang Johan yang bukan hukum ditakutkan akan dipermasalahan di kemudian hari. Johan berasal dari internal dan tidak punya latar belakang hukum atau akuntansi. Undang-undang KPK mensyaratkan ada pengalaman khusus di dua bidang itu minimal 15 tahun. "Sepertinya presiden hanya mau main aman di posisinya saja. Tidak berani melawan dan melindungi pemberantasan korupsi," kata dia.
Memang sebagai pelaksana tugas sifatnya hanya sementara. Tapi ujar Hifdzil, saat ini dibutuhkan orang yang berani melawan desain sistematis pelemahan KPK. "Jadi orangnya harusnya tak berasal dari unsur polisi," katanya. "Misalnya, Johan Budi, apakah Presiden sudah cek prasyarat calon pimpinan KPK. Bagaimana kalau ada yang mempermasalahkan keabsahan Johan? KPK jadi limbung lagi, to."
Aktivis Jaringan Antikorupsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Erwan Suryono, mengkhawatirkan pelemahan KPK akan mempengaruhi penanganan kasus korupsi di daerah. Sebab KPK juga melakukan supervisi terhadap kasus korupsi di daerah. "KPK saja dilemahkan, bagaimana dengan penegak hukum lainnya terutama di daerah," tanya Erwan.
MUH SYAIFULLAH