TEMPO.CO, Jakarta - Kali ini seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat yang berasal dari partai politik yang dulu menyokong calon presiden, Prabowo Subianto, maupun penyokong Jokowi cukup kompak. Mereka satu suara untuk mengutak-atik sejumlah kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kekompakan itu ditunjukkan dengan dimasukkannya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam 159 Undang-Undang dalam program legislasi nasional periode 2015-2019 pada rapat paripurna Senin lalu.
Wakil Ketua Badan Legislasi Firman Subagyo mengatakan masuknya revisi Undang-Undang KPK dalam prolegnas merupakan usulan dari Komisi Hukum. Revisi, menurut dia, merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana DPR melakukan perubahan beberapa hal substansial dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidanda dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, tahun ini.
"Setelah revisi KUHP dan KUHAP selesai, kami akan lakukan penyesuaian tak hanya terhadap Undang-Undang KPK, tapi juga Undang-Undang Kejaksaan dan Kepolisian," ujar Firman di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Gerakan Indonesia Raya, Wenny Warouw, mengatakan salah satu poin yang bakal dibahas menurut dia soal penyadapan. "Harus jelas aturannya apakah perlu izin atau tidak sehingga tak perlu sembarang menyadap," ujar Wenny. Poin lain yang menurut dia perlu diubah terkait dengan prosedur penyelidikan dan penyidikan.
Politikus di Komisi Hukum dari Hanura, Syarifuddin Sudding, lebih mempersoalkan prosedur penetapan seseorang menjadi tersangka. Menurut dia selama ini seseorang bisa menyandang status tersangka dari KPK lebih dari satu tahun tanpa ada kejelasan kasus hukum. "Ini membuat hilangnya kepastian hukum," ujar Sudding.
Beberapa fraksi juga mempersoalkan tak adanya lembaga pengawas KPK. Sekretaris Jenderal Partai NasDem yang juga anggota Komisi Hukum DPR, Patrice Rio Capella, mengatakan sebagai lembaga negara, KPK juga memerlukan lembaga pengawas yang independen untuk memantau perilaku komisioner, penyidik, dan pegawai. "Masa lembaga lain bahkan presiden punya lembaga pengawas, KPK tidak ada," ujar Rio.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Ronald Rofiandri, menduga ada upaya untuk menggembosi KPK lewat revisi itu. Ronald menyebutkan rencana revisi Undang-Undang KPK juga tak mendesak. “Selama ini publik tak pernah mendengar adanya permintaan dari KPK sebagai pihak yang paling berkepentingan terhadap revisi,” kata dia.
Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan lembaganya belum butuh revisi Undang-Undang KPK. Menurut Zulkarnain dengan undang-undang yang ada KPK terbukti tetap bisa menjalankan fungsi. "Untuk apa boros biaya dan tenaga untuk revisi Undang-Undang KPK," ujarnya.
IRA GUSLINA SUFA