TEMPO.CO, Surabaya - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menanggapi santai hasil survei yang mencantumkan Surabaya sebagai kota dengan kemacetan terburuk keempat di dunia. Dengan rata-rata 29.880 stop-start index untuk setiap kendaraan setiap tahunnya, Surabaya berada di bawah Jakarta, Istanbul, dan Mexico City.
"Enggak apa-apa, enggak apa-apa," kata Risma sambil tersenyum ketika ditemui di kantornya, Kamis, 5 Februari 2015.
Risma tak mempermasalahkan hasil survei Castrol Magnatec itu. Ia berdalih, Surabaya selalu mendapat nomor dalam penilaian lain untuk kondisi lalu lintas, antara lain Wahana Tata Nugraha.
"Penilaian itu bergantung pada parameter yang digunakan. Jika dalam 24 jam hanya macet sekian jam, itu masih bisa ditoleransi," ujarnya. Namun, kalau setiap kendaraan harus menunggu hingga perjalanan berhenti beberapa jam, itu baru masalah. "Setiap kota besar selalu seperti itu (macet). Siapa ngomong enggak?" ujarnya.
Risma mencontohkan pengalamannya ketika berkunjung ke beberapa negara di Eropa. Di sana, kemacetan selalu terjadi setiap Senin dan Jumat sore. "Saya bahkan pernah terjebak macet saat menumpang Trans-Europa. Perjalanannya berhenti sampai beberapa jam."
Kendati begitu, bukan berarti Risma cuek dengan kemacetan yang ada di Surabaya. Lulusan arsitek Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, ini menuturkan telah menyiapkan langkah untuk mengatasinya. Di antaranya adalah membangun jalan, transportasi massal, dan pembangunan infrastruktur jalan baru untuk menghubungkan akses-akses wilayah.
Berdasarkan standard Castrol Magnatec Stop-Start Index, Surabaya ditetapkan sebagai kota dengan kemacetan terburuk keempat di dunia. Rata-rata mobil di Kota Surabaya mengalami 29.880 kali berhenti dan berjalan dalam setahun. Jakarta berada di puncak dengan nilai indeks 33.240.
Adapun kota yang lalu lintasnya paling cair adalah Tampere, Finlandia, dengan indeks 6.240. Rotterdam, Belanda, yang mayoritas penduduknya bersepeda, berada di peringkat kedua dengan mencatat 6.360 kemacetan per tahun.
Indeks ini mengacu pada data navigasi pengguna Tom Tom, mesin GPS, untuk menghitung jumlah berhenti dan jalan yang dibuat setiap kilometer. Jumlah tersebut dikalikan dengan jarak rata-rata yang ditempuh setiap tahunnya di 78 negara.
AGITA SUKMA LISTYANTI