TEMPO.CO, Jakarta - Hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyimpulkan Markas Besar Kepolisian RI melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto.
Investigasi ini berdasarkan kajian dan analisa data, fakta, informasi, temuan di lapangan, keterangan saksi, laporan, dokumen yang relevan, serta berbagai informasi lainnya yang dilakukan Tim Penyelidikan bentukan Komisi Hak Asasi sejak Jumat pekan lalu.
"Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelangggaran hak asasi manusia," kata Ketua Tim Penyelidikan, Nur Kholis, di kantor Komisi Hak Asasi, Jakarta, Rabu, 4 Februari 2015.
Berikut hasil investigasi lengkap seperti disampaikan Nur Kholis dalam keterangannya di kantor Komisi Hak Asasi:
1. Dalam peristiwa penangkapan terhadap Bambang Widjojanto, terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan di bidang hak asasi manusia.
2. Terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan indikasi sebagai berikut:
- Bahwa penanganan kasus Bambang Widjojanto tidak terlepas dari situasi konflik yang terjadi antara KPK dan Polti yang sebenarnya telah menjadi konflik laten.
- Bahwa proses hukum terhadap Bambang Widjojanto mulai dilakukan setelah adanya tindakan hukum terhadap salah satu pimpinan Polri. Hal ini juga terjadi pada peristiwa-peristiwa sebelumnya antara KPK dan Polri, seperti dalam kasus Bibit-Chandra, kasus Susno Duadji, kasus Djoko Susilo, sehingga seluruh rangkaian peristiwa ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu koinsiden.
3. Terjadinya penggunaan kekuasaan yang eksesif, dengan indikasi sebagai berikut:
- Komnas HAM mengidentifikasi adanya penggunaan kekuasaan yang eksesif oleh Polri yang melampaui upaya yang dibutuhkan, antara lain dengan penggunaan upaya paksa, yaitu adanya penggunaan senjata laras panjang, serta pengerahan kekuatan pasukan yang berlebihan untuk melakukan penangkapan terhadap Bambang Widjojanto yang masih menjabat sebagai pimpinan KPK.
- Komnas HAM menduga bahwa penggunaan upaya paksa serta penanganan perkara telah melampaui langkah yang seharusnya dilakukan oleh kepolisian berdasarkan peraturan yang ada serta keluar dari praktik yang selama ini dilakukan.
4. Pelanggaran terhadap due process of law, dengan indikasi sebagai berikut:
- Bahwa proses penangkapan tidak dilakukan sesuai dengan Peraturan Kepala Polri Nomor 14 Tahun 2012, yakni tidak didahului dengan surat panggilan.
- Bahwa penanganan proses hukum terhadap Bambang Widjojanto dilakukan dengan proses yang tidak jujur.
5. Bahwa kepolisian telah menerapkan hukum secara tidak proporsional dalam penggunaan Pasal 242 junto Pasal 55 KUHP terhadap kerja-kerja advokat sehingga dapat mengancam profesi advokat yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi hak atas keadilan sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
6. Bahwa terjadinya abuse of power, salah satunya berupa penggunaan kekuasaan yang eksesif, sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di mana seluruh prosedur formil dan material yang digunakan oleh Badan Reserse Kriminal Polri dalam perkara Bambang Widjojanto, tidak didasari dengan itikad baik dalam rangka upaya penegakan hukum, terjadinya diskriminasi di mana penangkapan dilakukan tanpa adanya proses pemanggilan, sehingga kasus yang dikenakan terhadap Bambang Widjojantojustru dapat mengancam kebebasan hak sipil pada umumnya, khususnya kebebasan profesi advokat.
Adapun polisi menetapkan Bambang sebagai tersangka kasus sumpah palsu dalam sidang sengketa hasil pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010. Bambang kala itu menjadi pengacara pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto, yang menggugat pasangan Sugianto Sabran-Eko Soemarno. Mahkamah kemudian membatalkan kemenangan Sugianto. Bambang yakin laporan ke polisi ini terkait penetapan status tersangka terhadap calon Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
PRIHANDOKO