TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pegiat hak asasi manusia mengkritik penerbitan surat edaran Mahkamah Agung yang membatasi pengajuan peninjauan kembali (PK) hanya boleh satu kali. Direktur Eksekutif Human Rights Working Group Rafendi Djamin menuding surat edaran itu diterbitkan atas intervensi pemerintah. ”Isi surat edaran itu hanya akal-akalan agar pemerintah bisa segera mengeksekusi mati terpidana,” kata Rafendi di kantornya, Senin, 5 Januari 2015.
Hal tersebut, menurut dia, terlihat ketika Presiden Joko Widodo menyatakan mendukung eksekusi mati terpidana kasus narkotik. Setelah itu, ada permintaan Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung untuk membuat fatwa ihwal ketetapan pengajuan peninjauan kembali. (Baca: Surat Edaran MA Memudahkan Eksekusi Mati)
Mahkamah Agung pada penghujung 2014 menerbitkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2014 yang mengatur bahwa peninjauan kembali hanya boleh diajukan satu kali. Surat edaran itu diteken Ketua MA Hatta Ali pada 31 Desember 2014 dan dikirimkan kepada semua ketua pengadilan di seluruh Indonesia untuk dilaksanakan. MA menyatakan Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan putusan PK tidak dapat digugat PK lagi. Selain itu, Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung pun menegaskan bahwa PK hanya dapat diajukan satu kali. (Baca: MA Putuskan Peninjauan Kembali Hanya Sekali)
Rafendi menilai dasar hukum dalam penerbitan surat edaran itu dipaksakan. Soalnya, kata dia, Mahkamah Agung seharusnya tahu bahwa putusan Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang membatasi pengajuan PK hanya boleh sekali. Karena itu, kata dia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung yang menjadi landasan hukum terbitnya surat edaran itu dinilai sudah tidak berlaku.
Rafendi mengatakan sudah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo agar mempertimbangkan dasar hukum surat edaran Mahkamah Agung tersebut. Suratnya, dia melanjutkan, meminta klarifikasi ihwal ada-tidaknya campur tangan negara terhadap penerbitan surat edaran Mahkamah Agung tersebut.
Adapun Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi menilai dasar terbitnya surat edaran itu bukan hanya kekeliruan, tapi juga kekonyolan. ”Bagaimana bisa surat edaran isinya melampaui putusan Mahkamah Konstitusi?” ujarnya. Menurut dia, orientasi penegakan hukum untuk memberikan keadilan kepada terpidana seharusnya tidak diatur Mahkamah Agung dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Direktur Imparsial Poengky Indarti menganggap surat edaran tersebut tidak mengikat bagi hakim pengadilan negeri. Menurut dia, meski di dalam surat edaran itu ada instruksi dari Ketua Mahkamah Agung, tetap saja hakim harus mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. ”Jika tidak, dia melanggar kode etik.”
REZA ADITYA
Terpopuler:
Bos Air Asia: Headline Media Malaysia Ngawur
Ribut Rute AirAsia, Menteri Jonan di Atas Angin?
Jonan Bekukan Rute AirAsia, Ada Tiga Keanehan
Adian Napitupulu: Wiranto Danai 'Di Balik 98'?
Tragedi Air Asia, 41 Korban Jemaat dari Satu Gereja