TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Revrisond Baswir menilai alasan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi mengada-ada. Selain harga minyak dunia yang saat ini turun, menurut dia, ada tiga hal yang membuat tata kelola BBM salah. (Baca: Harga BBM Naik, Harga Tempe Akan Naik 30 Persen)
"Seharusnya, tak ada alasan pemerintah menaikkan harga BBM," kata Revrisond saat dihubungi, Selasa, 18 November 2014.
Revrisond menganggap selama ini Pertamina--pengelola penambangan hingga perniagaan minyak dan gas bumi--melakukan inefisiensi. Pertama, tutur dia, Pertamina membeli minyak mentah dari pemerintah memakai harga pasar dunia. Jadi, ujar Revrisond, kalau harga minyak dunia mahal, Pertamina membeli minyak dari pemerintah sendiri dengan harga tinggi.
Kedua, Pertamina membeli minyak dari pemerintah dengan dibebani pajak pertambahan nilai (PPN). Padahal, kata dia, Pertamina menyediakan BBM dalam rangka pelayanan publik tapi masih dikenai pajak. (Baca: Harga BBM Naik, Sopir Angkot di Kupang Mogok)
"Di sini akan ketemu angka yang besar sekali," ujarnya. Selisih pendapatan dan biaya Pertamina menjadi besar.
Terakhir, karena selisih tersebut, Pertamina untung besar. "Akhirnya, Pertamina setor dividen ke negara," tuturnya.
Semalam, Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter untuk jenis Premium dan solar. Kenaikan harga ini diklaim sebagai usaha pemerintah meningkatkan pemanfaatan anggaran belanja, dari sektor konsumtif ke produktif.
"Harga Premium naik dari Rp 6.500 jadi Rp 8.500, dan solar dari Rp 5.500 jadi Rp 7.500," kata Jokowi di Istana Merdeka, Senin malam, 17 November 2014. (Baca: Harga BBM Naik, JK Hubungi Ical dan SBY)
MUHAMMAD MUHYIDDIN | FRANSISCO ROSARIANS
Terpopuler
Islah DPR, Pramono Anung Sindir Fadli Zon
Fahri Hamzah Ingin DPR Tetap Berkelahi
Menteri Susi: Subsidi BBM Itu Sumber Maksiat
Jokowi Setuju Lantik Ahok
Pegawai Tak Cekatan, Menteri Susi Gerah