TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengusulkan pembentukan pengadilan ad hoc yang menangani sengketa pemilihan umum. Selama ini, permasalahan pemilu diselesaikan melalui pengadilan umum, termasuk tata usaha negara.
Menurut dia, jika sengketa ditangani oleh pengadilan khusus, hasilnya lebih maksimal. "Tidak mesti diisi hakim karier," katanya di Jakarta, Kamis, 13 November 2014.
Posisi hakim ad hoc, ujar dia, bisa ditempati pakar yang paham hukum pidana pemilu, supaya ada pengetahuan yang sama dalam memutuskan sebuah sengketa. Sebab, Komisi Yudisial menemukan kasus pidana pemilihan umum yang bisa ditangani oleh satu pengadilan tapi ditolak di tempat lain.
Suparman juga menyoal aturan pemilihan umum, khususnya yang berkaitan dengan sengketa. Menurut dia, aturan yang ada tidak pernah dievaluasi. "Misal, ada masalah yang tidak diatur di Undang-Undang Pemilu disuruh merujuk ke KUHP, padahal dua hal ini beda," ujarnya.
Pakar hukum pidana pemilu dari Universitas Indonesia, Topo Santoso, menuturkan belum ada aturan yang ajek terkait dengan penyelesaian sengketa pemilihan umum. Akibatnya, banyak kasus-kasus pelanggaran yang dilaporkan mentah sebelum sampai persidangan.
Misalnya, kata Topo, laporan pelanggaran kampanye. "Untuk kasus ini sering langsung mentah karena yang diributkan adalah pengertian kampanye, terlapornya tim sukses atau bukan, dan lain sebagainya," ujarnya.
Menurut dia, banyak sedikitnya jumlah penyelesaian sengketa pemilu bukanlah ukuran kesuksesan. Topo menuturkan poin yang paling utama adalah bagaimana aturan yang ada bisa jelas dan mencakup segala urusan.
SYAILENDRA
Terpopuler:
Jusuf Kalla: Ah, FPI Selalu Begitu, Simbol Saja
Jusuf Kalla: Kenaikan Harga BBM Akan Ditunda
Pembubaran FPI, Polri Siap Bersaksi di Pengadilan
Kuasa Hukum: Mana Buktinya FPI Rasis...
Begini Cara Membubarkan FPI