TEMPO.CO, Malang - Koalisi Masyarakat Sipil Malang menyerahkan petisi penolakan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Dengan mengumpulkan tanda tangan, mereka menolak pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur melalui DPRD. Petisi itu disampaikan kepada pimpinan sementara DPRD Kota Malang. "Rakyat bisa memilih sendiri pemimpinnya, tak perlu diwakilkan," kata koordinator aksi, Muhammad Taher Bugis, Kamis, 2 Oktober 2014.
Koalisi yang terdiri atas mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat ini meminta DPRD tak mengebiri hak politik rakyat. Undang-Undang Pilkada, kata dia, prematur dan menunjukkan adanya kepentingan politik tertentu. Mereka mengajak masyarakat terlibat penolakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
"Jangan memutus rantai demokrasi," ujar Taher. Dalam aksin itu, mereka membawa keranda sebagai simbol matinya demokrasi. Mereka membentangkan sejumlah poster bertuliskan "UU Pilkada=Demokrasi Mati", "Pilkada tak langsung merampas kedaulatan rakyat", "RIP KPUD", dan "Tolak UU Pilkada".
Wakil ketua sementara DPRD Kota Malang, Sahrawi, menyatakan akan menyampaikan aspirasi itu kepada DPRD. Namun masyarakat harus melakukan protes secara konstitusional, seperti mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. "Masyarakat harus menghormati hasil keputusan MK."
Dalam negosiasi, anggota Dewan dan demonstran sepakat petisi yang berisi penolakan masyarakat terhadap Undang-Undang Pilkada dikirim melalui faksimile ke pimpinan DPR. Para demonstran membubarkan diri setelah petisi itu dikirim ke DPR.
EKO WIDIANTO
Terpopuler:
FBR Geruduk DPRD Tolak Ahok Jadi Gubernur DKI
Pimpinan DPR Dikuasai Pro-Prabowo, Puan: Zalim
Setya Novanto Cs Jadi Pimpinan DPR, PDIP Kalah 2-0