TEMPO.CO, Jakarta - Kekisruhan seputar Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berawal dari munculnya usul pemerintah. Salah satu pokok rancangan itu menyebutkan mekanisme pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi resmi menyerahkan pembahasan RUU Pilkada pada 6 Juni 2012. Sebelumnya, pada 8 Februari 2012, Komisi Hukum DPR sepakat memilih membahas RUU Pilkada. (Baca: Pilkada DPRD, Jokowi: Itu Bentuk Elite Haus Kuasa)
Baca Juga:
Dalam pemaparan oleh Gamawan, pemilihan gubernur disarankan ditetapkan oleh DPRD provinsi melalui suara terbanyak. "Provinsi lebih menjalankan fungsi koordinatif dalam koridor dekonsentrasi," kata Gamawan. Pemerintah mengusulkan hanya bupati dan wali kota saja dipilih melalui pemilihan langsung.
Mekanisme itu dimasukkan dalam Pasal 2 RUU Pilkada. Pasal itu menyebutkan gubernur dipilih oleh anggota DPRD provinsi secara demokratis berdasarkan asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dalam rapat dengan Panitia Kerja RUU Pilkada DPR pada 14 Februari 2013 menjelaskan beberapa keuntungan pilkada melalui DPRD. Di antaranya biayanya bisa lebih murah dibanding pemilihan langsung dan mencegah praktek politik uang.
Waktu itu lima fraksi DPR menolak usul pilkada melalui DPRD, yaitu PDI Perjuangan, PKS, PAN, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PPP yang jelas-jelas setuju dengan usul pemerintah. Sikap fraksi lainnya masih belum jelas.