TEMPO.CO, Situbondo - Kepala Balai Taman Nasional Baluran, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Emy Endah Suwarni mengatakan perusahaan pengolah (smelter) nikel PT Situbondo Metallindo akan menggunakan lahan taman nasional sepanjang 600 meter. Lahan itu akan dipakai untuk jalan keluar-masuk kendaraan pabrik karena dianggap lebih dekat dibandingkan jika melalui luar kawasan.
Menurut Emy, hal itu merupakan permintaan dari pihak perusahaan beberapa waktu lalu. Namun, “Kami tak berwenang mengeluarkan izin,” kata Emy dihubungi Tempo, Jumat, 5 September 2014.
Penggunaan kawasan taman nasional, kata dia, harus seizin Kementerian Kehutanan. Selain harus mendapat izin Kementerian, PT Situbondo Metallindo harus menjamin bahwa smelter itu nihil dari kebisingan dan limbah yang dapat mengganggu ekosistem Baluran.
Smelter PT Situbondo Metallindo berada di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur. Jaraknya hanya 500 meter dari Baluran. Nilai investasi perusahaan asal Tiongkok ini Rp 4 triliun. Rencananya perusahaan itu akan produksi 243.600 ton ferronickel alloy per tahun.
Awalnya, perusahaan itu akan membangun pabriknya seluas 100 hektare di Desa Lamongan, Kecamatan Arjasa, serta Desa Agel dan Desa Pesanggarahan, Kecamatan Jangkar, Situbondo. Perusahaan kemudian memindahkan lokasi pembangunan pabriknya ke dekat taman nasional karena kesulitan mendapat lahan. Di Desa Wonorejo, PT Situbondo Metallindo menggunakan lahan tanaman kapuk milik PT Baluran seluas 360 hektare.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Jawa Timur Ony Mahardika mengatakan smelter berpotensi besar merusak lingkungan dan kawasan konservasi Taman Nasional Baluran. Ony mencontohkan pencemaran limbah di perairan Kabupaten Gresik oleh PT Smelting. “Nelayan-nelayan di Gresik tak bisa bekerja lagi karena lautnya tercemar,” kata Ony.
Menurut dia, lokasi berdirinya PT Situbondo Metallindo juga berdekatan dengan laut sehingga potensi limbah akan dibuang di bawah laut juga semakin besar. Limbah yang dikeluarkan smelter, kata dia, berasal dari penggunaan bahan bakar batu bara. Smelter juga akan mengancam ketersediaan sumber air penduduk, karena smelter membutuhkan pasokan air yang besar untuk memisahkan bijihnya. Karena potensial merusak lingkungan, kata Ony, seharusnya tidak boleh ada aktivitas pabrik di dekat kawasan konservasi karena dapat mengganggu ruang hidup satwa dan fauna lainnya di Baluran.
Sebelumnya, organisasi pecinta satwa, ProFauna Indonesia, juga menolak rencana berdirinya smelter ini. Juru kampanye ProFauna, Swasti Prawidya Mukti mengatakan Baluran menjadi habitat satwa liar yang punya mobilitas tinggi, seperti banteng, kerbau liar, rusa, dan ajag. "Lalu-lalang kendaraan pabrik, misalnya, bisa mengancam satwa-satwa itu."
Taman Nasional Baluran dengan luas 25.000 hektare adalah habitat berbagai jenis satwa liar. Terdapat 217 jenis burung dan 26 jenis mamalia, di antaranya banteng (Bos javanicus javanicus), kerbau liar (Bubalus bubalis), ajag (Cuon alpinus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus melas), kancil (Tragulus javanicus pelandoc), dan kucing bakau (Prionailurus viverrinus).
Sekretaris Kabupaten Situbondo Syaifullah menjamin smelter tidak akan berdampak negatif pada kelestarian Taman Nasional Baluran. "Perusahaan pasti punya solusi agar tidak mengancam Baluran yang nantinya tertuang dalam dokumen amdal."
IKA NINGTYAS
Berita Terpopuler:
Jokowi-JK Menang, Munas Golkar Lebih Dinamis
Aburizal Klaim Koalisi Permanen Positif
Serangan ISIS Mendekati Mekah