TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum MIAP (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan) Widyaretna Buenastuti mengatakan masih tingginya pertumbuhan barang palsu disebabkan beberapa faktor. Selain persoalan daya beli, penegakan hukum juga masih sangat lemah.
"Itu bisa dilihat dari hasil survei kita. Misalnya, sebanyak 64,6% konsumen merasa tidak mungkin diadili kalau menggunakan barang palsu. Lalu 27% penjual mengaku razia petugas kurang. Ada pula sekitar 27% produsen yang menilai hukuman terlalu ringan," ungkap Widyaretna.
Maka dari itu, MIAP mendorong implementasi kerangka hukum yang lebih jelas serta tegas untuk menjerat para pelaku bisnis yang tidak bertanggung jawab terkait peredaran produk-produk palsu. (Baca: Kerugian Akibat Software Bajakan Rp 12,8 Triliun)
Menanggapi hal itu, penyidik Mabes Polri Rus Haryanto mengatakan sejauh ini kerja sama penegakan hukum sudah berjalan. Hanya saja kendalanya adalah bahwa penegak hukum masih menggunakan berbagai macam UU. (Baca: Awas, Pakai Barang Palsu Ditangkap)
"Pemalsuan itu delik aduan, sedangkan software masuk UU Hak Cipta. Ada juga kita jerat dengan UU Kesehatan walau biayanya kadang mahal. Demikian juga dengan UU Perlindungan Konsumen," ujar Rus.
EVIETA FADJAR
Berita Terpopuler
Kelulusan SBMPTN Diumumkan Sore Ini
Panglima TNI Tabrak Tameng Prajurit
Polri: Kasus Jakarta Post Ranahnya Dewan Pers
Sejumlah Jenderal Bermain di Balik Timah Ilegal