TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Qasim, tempat kejadian pembunuhan yang dilakukan tenaga kerja Indonesia, Satinah binti Jumadi Amad, merasa keberatan ketika keluarga Nurah Al Garib, meminta diyat pertama kali sebesar 15 juta real atau sekitar Rp 45 miliar.
"Jangan mengambil kesempatan orang dalam keadaan kepepet," kata Maftuh Basyuni, mantan Kepala Satuan Tugas Perlindungan WNI, menirukan ucapan Gubernur kala itu. Kemudian, diyat yang diminta keluarga turun menjadi SAR 10 juta.
Baca Juga:
Maftuh, yang juga mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, memaparkan kronologi pembelaan terhadap kasus Satinah dalam konferensi pers yang digelar di Ruang Palapa, Kementerian Luar Negeri, di Jakarta, Senin, 24 Maret 2014.
Dia menuturkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengirimkan surat kepada Raja Arab Saudi sehari sebelum dilakukan eksekusi pemenggalan untuk Satinah. Raja lalu menyampaikan isi surat tersebut kepada Gubernur Qasim.
"Lalu Gubernur Qasim mencegah pelaksanaan (eksekusi itu)," kata Maftuh.
Baca Juga:
Pencegahan tersebut, kata Maftuh, membuat berang keluarga Nurah sehingga mereka protes. Gubernur lalu menyarankan keluarga untuk berunding sesuai anjuran raja. Setelah berunding, keluarga bersedia memaafkan dengan imbalan diyat sebesar 15 juta riyal. Setelah dinasihati, jumlahnya turun menjadi 10 juta riyal.
Ketika Maftuh ke sana, 4 Juli 2011, Gubernur menanyakan besaran yang sanggup dibayarkan. Kala itu, Maftuh menjawab pemerintah Indonesia hanya memberikan perlindungan kepada setiap warga negara yang bermasalah. Namun, karena telah menjadi hukum, maka itu menjadi persoalan pribadi.
Pemerintah Indonesia, kata Maftuh, diperbolehkan memberikan bantuan diyat. Namun, bukan menjadi kewajiban. Maftuh mengatakan, pembayaran diyat yang bisa diberikan pemerintah Indonesia paling sebesar anjuran Raja, yakni 500 ribu riyal.
Dalam pertemuan Maftuh dengan keluarga Nurah, yang diwakili salah seorang bernama Khalid, disampaikan mereka minta 10 juta riyal. Perundingan selanjutnya terjadi pada Desember 2011. Keluarga Nurah menurunkan permintaan menjadi 7 juta, sedangkan pemerintah Indonesia menaikkan penawaran diyat menjadi 4 juta.
Menurut Maftuh, yang menambah sulit perundingan diyat adalah provokasi dari tetangga, yang memanas-manasi keluarga Nurah untuk meminta diyat dalam jumlah sebesar-besarnya.
Satinah binti Jumadi Amad bekerja sebagai penata laksana rumah tangga di Al Gaseem, Arab Saudi. Warga Dusun Mruten Wetan RT 1/RW 2 Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, itu dijatuhi vonis qishash (pancung) pada 13 September 2011 lalu. Dia dinyatakan bersalah telah membunuh majikan perempuannya, Nurah Al Garib, pada Juni 2007.
Setelah beberapa kali pemerintah Indonesia berupaya untuk meringankan hukuman, Satinah diperkirakan akan dipancung pada 3-5 April 2014, kecuali keluarga menerima diyat yang telah diberikan ke Pengadilan Buraidah.
RIZKI PUSPITA SARI