TEMPO.CO, KEDIRI - Lahar dingin mengalir deras dari Gunung Kelud, Selasa, 18 Februari 2014. Aliran lahar dingin mulai melintas sekitar pukul 16.30 WIB. Pantauan di Sungai Mangli, jembatan penghubung antara Desa Puncu dan Desa Satak terputus karena dilewati lahar dingin bercampur material vulkanik.
"Tadi sore waktu hujan, airnya jadi kuning. Terus pukul 17.00 WIB, semakin deras," kata Sugik, warga Desa Puncu.
Tangga kayu dipasang melintang persis di depan jembatan baik dari sisi Desa Puncu maupun dari Desa Satak. Warga setempat dilarang melewati jembatan tersebut karena aliran semakin deras. Lahar dingin pun sudah mencapai batas jembatan yang berjarak sekitar 8-10 meter dari dasar sungai. Penduduk yang hendak menyeberang terpaksa harus memutar melewati jalan lain.
Kedua desa tersebut terletak di Kecamatan Puncu yang masih berada di dalam radius zona bahaya Gunung Kelud. Suasana pun makin mencekam karena listrik mati sejak Kelud meletus pada Kamis, 13 Februari 2014. Desa Asmorobangun, Puncu, dan Kepung misalnya, seperti desa mati karena ditinggal mengungsi oleh para penghuninya. Hanya ada beberapa warga, polisi, dan petugas SAR yang berjaga-jaga di sejumlah lokasi.
Hingga pukul 19.00 WIB, lahar dingin masih terus mengalir. Meski demikian, lahar dingin dari erupsi Gunung Kelud kali ini tidak seberapa besar dibandingkan dengan lahar pasca-erupsi pada 1990 lalu. Menurut Sugik, saat itu lahar dingin membawa kayu sepanjang tangan orang dewasa. Volume air pun bisa sampai 2 meter di atas batas jembatan. "Tapi waktu itu memang belum dibangun tanggul," kata Sugik.
Adapun sejumlah penduduk yang tinggal di dekat sungai langsung mengantisipasi aliran lahar dingin dengan membuat tanggul dari karung pasir. Karung-karung tersebut diletakkan di sekitar rumah, dekat selokan ataupun tepi-tepi jalan. Penjagaan pun diperketat di sejumlah wilayah, terutama yang dilewati sungai. Warga setempat pun berkumpul di dekat sungai untuk melihat aliran lahar dingin.
AGITA SUKMA LISTYANTI