TEMPO.CO, Surabaya - Acara diskusi dan peluncuran buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia pagi tadi di Universitas Airlangga Surabaya berlangsung lancar. Dihadiri sekitar 60 peserta dari kalangan mahasiswa dan akademisi, acara tersebut terlaksana tanpa ancaman pembubaran.
"Yang di Unair berlangsung aman dan lancar. Mungkin karena di kampus untuk kalangan akademisi," kata salah satu panitia, Yasoon de Bani, pada Tempo, Jumat, 7 Februari 2014.
Diskusi berlangsung pukul 10.00-13.00 WIB di Ruang Chairil Anwar Fakultas Ilmu Budaya Unair, Surabaya. Acara ini menghadirkan peneliti dan penulis buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Harry A. Poeze, sebagai pembicara dan Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unair Dr Purnawan Basundoro sebagai moderator.
Diskusi diawali dengan pemutaran tayangan 15 foto ekslusif dan film tentang pembongkaran makam Tan Malaka.
Sempat beredar kabar bahwa diskusi itu didatangi kelompok tertentu yang ingin membubarkan. Namun isu ini ditampik Yasoon. Informasi yang dia dengar, pembubaran itu akan dilakukan di Perpustakaan C20 di Jalan Cipto 20, Surabaya--tempat diskusi tentang Tan Malaka yang rencananya digelar nanti malam.
Sehari sebelumnya, diskusi dan peluncuran buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia juga berlangsung di Universitas Negeri Surabaya. Di sana, jumlah peserta mencapai 250 orang dari kalangan mahasiswa maupun akademisi.
Menurut Yasoon, para pesera cukup antusias dengan pemikiran Tan Malaka. Mahasiswa dan akademisi lebih terbuka dengan ide maupun pemikiran baru dan berbeda. Meski Tan Malaka sering berseberangan dengan tokoh-tokoh nasional waktu itu, tapi ia memiliki sudut pandang yang menarik.
Tan Malaka memang dikenal sebagai sosok yang kaku. Ini pula yang menjadikannya selalu berbeda pendapat dengan para pendiri bangsa ini. Kendati begitu, sejumlah pemikirannya masih tetap aktual dan relevan jika disesuaikan dengan kondisi sekarang. Hal ini juga ditangkap para peserta diskusi. "Mahasiswa melihat Tan Malaka sebagai inspirator, founding father," ujar penggemar Tan Malaka itu.
Pada masanya, Tan Malaka merupakan pejuang kedaulatan dan nasionalisme. Ia memberontak ketika bangsa Indonesia justru menjadi tamu di negeri sendiri. Sumber daya alam dengan mudahnya diambil dan dihabiskan untuk kepentingan asing. Hanya, diakui Yasoon, Tan Malaka lebih senang berjuang di bawah tanah. Namun pemikirannya berpengaruh sampai ke Asia.
Diskusi di Surabaya merupakan bagian dari safari peluncuran buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Selain di Surabaya, sejumlah kota juga menggelar acara yang sama. Mengusung konsep Merdeka Seratus Persen, acara ini dianggap sebagai bentuk perjuangan untuk kedaulatan rakyat dan negara.
AGITA SUKMA LISTYANTI