TEMPO.CO, Yogyakarta - Puluhan mahasiswa Yogyakarta memperingati peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) dengan aksi demonstrasi di pertigaan kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Rabu, 15 Januari 2014. Mahasiswa menuntut peristiwa Malari diusut kembali. Menurut mereka, para pelaku dan antek-antek mereka penyebab kerusuhan harus diseret ke pengadilan.
"Kami menuntut hukuman mati bagi aktor pemicu Malari,” ujar Fauzan Adzim, koordinator Front Aksi Mahasiswa Jogja.
Saat peristiwa Malari tahun 1974 itu, mahasiswa menyampaikan aspirasi penolakan terhadap dominasi asing, terutama Jepang, dalam perekonomian Indonesia. Kedatangan Perdana Menteri Jepang waktu itu, Kakuei Tanaka, ke Jakarta ditolak mahasiswa. Salah satu tokoh mahasiswa saat itu adalah Hariman Siregar. Aksi protes yang berlangsung damai itu kemudian diikuti oleh adanya peristiwa pembakaran.
Tercatat saat itu ada 11 korban jiwa, 75 korban luka berat, ratusan orang luka ringan, dan 775 orang ditahan. Selain itu, 807 mobil dan 187 sepeda motor dibakar. Sebanyak 160 kilogram emas raib dari pertokoan dan barang-barang elektronik juga dibakar. "Gedung-gedung dan pertokoan porak-poranda ada sebanyak 144 gedung," ujar Fauzan Adzim terkait peristiwa 40 tahun lalu itu.
Aksi mahasiswa dan pelajar itu, kata dia, juga tidak murni alias disusupi. Peristiwa itu juga diwarnai oleh adanya friksi di dalam elite politik dan militer, yaitu antara kubu Jenderal Soemitro dan Ali Murtopo.
Mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Jogja juga menolak proyek raksasa pabrik pasir besi dan pembangunan bandar udara di Kulon Progo. Sebab, pembangunan itu tidak berpihak kepada rakyat dan petani. "Proyek di Kulon Progo merupakan kapitalisasi. Mereka dipaksa dari masyarakat petani menjadi masyarakat industri," kata Hari Moti, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, peserta unjuk rasa.
Mahasiswa juga menolak program Master Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011, yang membagi negara ini menjadi enam koridor pembangunan: Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Moti menilai percepatan ekonomi itu justru tidak memihak kepada rakyat.
MUH SYAIFULLAH
Berita Lain:
Anas Urbaningrum Ditahan, Dosen Unair Meminta Maaf
Mahfud Mengaku Heran Atas Pemilihan Akil Mochta
Soal Dugaan Suap Pilgub Jatim, Ini Kata Cak Imin
Kata Istrinya, Anas Urbaningrum Sedang Tirakat
Kado Tahun Baru Anas Urbaningrum Versi Ipar SBY