TEMPO.CO, Jayapura - Sebanyak 30 aktivis Papua Merdeka ditangkap polisi saat berunjuk di halaman Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Kota Jayapura, Papua, Senin, 13 Januari 2014. Dalam aksinya, mereka meminta delegasi Melanesian Spearhead Group (MSG) yang saat itu sedang berkunjung ke Jayapura mendukung Papua dalam keanggotaan di blok negara-negara Asia-Pasifik.
Salah satu aktivis HAM Papua, Markus Haluk, koordinator aksi unjuk rasa, terlihat ikut digiring ke kantor Polresta Jayapura. Polisi beralasan, mereka tak memiliki izin untuk demonstrasi. "Kami hanya memintai keterangan mereka. Tak ada penangkapan, pemukulan maupun intimidasi saat dilakukan pengamanan unjuk rasa," kata Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare kepada wartawan di Kota Jayapura.
Menurut Alfred, menurut Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum, aksi ini telah menyalahi aturan dan dapat dibubarkan. "Jadi kami tidak membubarkan mereka. Hanya saja saat itu saya menawarkan kepada massa, apakah mau stop dan Markus Haluk kami amankan karena dia sebagai penanggungjawab dalam aksi tersebut," ujarnya.
Salah satu aktivis yang dibawa polisi, Elias, memprotes penangkapan ini. "Kami melakukan unjuk rasa tak anarkis dan berlangsung tertib. Kami sengaja menggelar aksi di kantor DPRP sebab kantor adalah kantor rakyat," katanya.
Menurut Elias, mereka melakukan unjuk rasa di kantor DPRP agar para anggota Dewan dapat memfasilitasi massa dengan delegasi MSG yang sedang berkunjung ke Papua. "Tapi belum masuk ke halaman kantor DPRP, aparat kepolisian langsung menghadang kami. Sempat terjadi perlawanan. Kamera handcam dan kamera foto kami diambil dan gambarnya dihapus polisi," katanya.
Dalam penangkapan ini, polisi menyita sebuah spanduk yang disamping kirinya terdapat gambar bendera Bintang Kejora dan bertuliskan "West Papua People Support WPNCL for MSG Membership". Selain itu, juga ada sebuah spanduk lain yang bertuliskan "Dukungan penuh aplikasi bangsa Papua sebagai anggota MSG untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan".
Gubernur Papua Lukas Enembe, usai pertemuan tertutup selama lebih dari dua jam dengan delegasi MSG di kantor Gubernur Papua, menyatakan, masyarakat Papua diminta untuk tak mengingat masa lalu yang diduga ada dugaan pelanggaran HAM. Sebab, saat ini daerah ini dapat ditata kembali bersama-sama.
"Saya mengerti, selama Orde Baru banyak terjadi pelanggaran HAM dan sejarah sudah mencatat. Tapi reformasi telah bergulir dan Indonesia sudah lebih terbuka dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Kami lebih mendorong pembangunan di Papua dengan segala potensi yang ada agar ada kemajuan bagi rakyat Papua," kata Lukas kepada wartawan di Kota Jayapura, Senin, 13 Januari 2014.
Menurut Lukas, kunjungan delegasi MSG ini untuk mendekatkan hubungan. "Ini kunjungan untuk pertama kalinya dan kami pasti akan melakukan kunjungan balasan kepada mereka. Hubungan yang akan dibangun akan lebih kepada hubungan budaya, ekonomi dan saling
melakukan kunjungan," katanya.
Salah satu pimpinan delegasi MSG, Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Hon Rimbink Pato mengatakan, ada banyak hal yang dibicarakan saat bertemu Gubernur Papua. "Kami membahas semuanya secara detail, termasuk juga kesepakatan pembangunan ekonomi, regulasi Papua, dan program di Indonesia serta usaha patungan bidang perdagangan. Kami dari delegasi MSG juga mengakui penerapan otonomi khusus di Papua yang diberikan oleh pemerintah Indonesia berjalan dengan sangat bagus. Kami menganggap ini sangat menarik," kata Pato.
Rombongan delegasi MSG ini dipimpin tiga menteri luar negeri dari beberapa anggota MSG, yakni Menteri Luar Negeri Fiji Ratu Noke Kubuabola, Menteri Luar Negeri Salomon Soalaoi Clay Forau dan Rimbink Pato. Kunjungan ke Papua ini untuk bertemu pejabat pemerintah Papua dan melakukan kunjungan ke sejumlah tempat, yaitu ke SMK 1 Jayapura dan Bank Papua di Kota Jayapura. Setelah itu, delegasi kembali ke Jakarta.
CUNDING