TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar, berkeinginan untuk memvonis mati seorang koruptor. Masalahnya, belum ada terdakwa koruptor yang kesalahannya dapat diganjar hukuman mati. "Bahkan, tidak ada yang mendekati," kata dia ketika ditemui Tempo di kantornya akhir Desember lalu.
Masalah lainnya, menurut Artidjo, yakni konstruksi hukum di Indonesia tidak pas. Khususnya konstruksi hukum yang menyangkut pasal korupsi. "Dibuatnya setengah hati," ujar pria asal Situbondo, Jawa Timur, itu.
Artidjo mengatakan, klausul hukuman mati seorang koruptor dihubungkan dengan faktor lain di luar hukum. Faktor bencana alam misalnya. Koruptor, menurut dia, baru bisa diganjar hukuman mati jika mengkorupsi anggaran penanggulangan bencana alam. "Lha, itu kan jarang. Konstruksi hukumnya salah," ucap dia. (Baca: Artidjo Hakim 'Killer' Bagi Koruptor)
Dia mencontohkan konstruksi hukum di negara Cina. Di Negara Tirai Bambu tersebut, kata Artidjo, konstruksi dan batasan hukumnya jelas. Misalnya, hukuman mati bagi orang yang korupsi Rp 50 miliar. "Jika jelas begitu, hukuman mati akan tercipta. Di Indonesia?"
Pria yang juga aktif sebagai pengajar di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini menyarankan agar konstruksi hukum terkait korupsi diamandemen. Namun, Artidjo ragu perihal amandemen tersebut. "Apakah berani, jika pembuat amandemen masih takut jika suatu saat kena?"
Artidjo dikenal sebagai pribadi yang hangat dan ramah. Sebagai hakim agung, reputasinya begitu horor. Ia seolah menjadi malaikat Izrail bagi para penjahat. Contohnya, terpidana korupsi Angelina Sondakh yang ditambah hukumannya dari 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta, plus pidana tambahan uang pengganti Rp 12,58 miliar dan US $ 2,35 juta.
AMRI MAHBUB | TIM TEMPO
Berita Lain:
DPR Dukung Proyek Gedung Baru KPK
Suami Divonis, Istri-istri Lutfhi Tetap Setia
Tiga Keistimewaan Koruptor Indonesia di Mata ICW
Soal Antikorupsi, Indonesia Kalah dari Etiopia
Surga Korupsi, 756 Koruptor Cuma Divonis 2-5 Tahun