TEMPO.CO, Banda Aceh - Tgk Malik Mahmud Al-Haytar dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), hari ini, Senin, 16 Desember 2013. Namun, aktivis Gayo Merdeka, Aramiko Aritonang, mengatakan tetap berkomitmen menolak lembaga Wali Nanggroe. “Kami tetap tidak setuju dan sampai kapan pun tidak menyetujuinya,” kata Aramiko, Minggu, 15 Desember 2013.
Penolakan telah lama disuarakan pihaknya. Sebab, lembaga tersebut dinilai belum dapat mewakili seluruh komponen masyarakat yang ada di Aceh. Dari awal, lembaga Wali Nanggroe seperti dipaksakan oleh Pemerintah Aceh. Keberadaannya kurang disosialisasikan dan tidak mewakili masyarakat Gayo.
Dia terus berkampanye di daerahnya untuk terus menolak lembaga tersebut. Bahkan, Aramiko menyarankan sebaiknya pemerintah Aceh merelakan saja Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) pisah dari Aceh. “Semakin suara kami tak didengar, semakin kuat juga alasan kami untuk terus memperjuangkan provinsi baru,” ujarnya.
Namun suara berbeda datang dari Asnawi, warga Kuta Alam Banda Aceh. “Kalau itu memang amanah perdamaian dan undang-undang, ya tidak masalah sama sekali,” ujarnya.
Hal senada dikatakan Muntasir, warga Ulee Kareng. Ia setuju saja dengan pengukuhan Wali Nanggroe. Lembaga tersebut dinilai dapat menjadi pemersatu seluruh unsur masyarakat yang ada di Aceh. “Yang penting Aceh bisa aman terus dan bersatu,” kata Muntasir.
Sehari menjelang pengukuhan, aktivitas warga di Banda Aceh berjalan seperti biasa. Kesibukan hanya terlihat di tempat acara pengukuhan seperti di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pendopo Gubernur Aceh. Sampai Ahad sore, 15 Desember, juga tidak terlihat iring-iringan massa berdatangan dari berbagai daerah di Aceh ke Banda Aceh untuk menyaksikan acara pengukuhan itu.
ADI WARSIDI