TEMPO.CO, Jakarta - Meroketnya popularitas Gubernur Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pemilu 2014 juga pernah dialami Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 dan 2009. Bedanya, preferensi pemilih terhadap keduanya bertolak belakang.
Direktur Riset Lingkaran Survei Indonesia Adjie Alfarabie mengatakan, publik dulu mengenal Yudhoyono sebagai pribadi yang santun, ramah, dan bicaranya teratur. Saat itu, publik mendambakan citra ideal seperti yang melekat pada Yudhoyono.
“Memilih Jokowi, masyarakat aneh,” kata Adjie di kantornya pada Selasa, 26 November 2013. Keanehan itu lantaran Jokowi adalah antitesis dari Yudhoyono. Jokowi, kata dia, dikenal sebagai figur yang low profile dengan tampilan luar dan fisik yang biasa saja. Gaya bicara Jokowi juga apa adanya.
Ketenaran Jokowi, kata dia, hadir karena mantan Wali Kota Surakarta ini tampil layaknya rakyat jelata. “Jokowi tidak elitis, tak birokratis, egaliter, dan mau turun ke masyarakat.” Dengan begitu, masyarakat melihat Jokowi adalah gambaran diri mereka sendiri. "Ia juga terlihat tulus tanpa dibuat-buat," kata dia.
Popularitas dan elektabilitas Jokowi ini menegasikan Yudhoyono. Imajinasi akan citra ideal yang melekat pada Yudhoyono tereduksi karena kekecewaan publik. “Sosok SBY ternyata dianggap tidak tegas,” kata dia. Kinerja pemerintahan dia dipersepsikan kurang bagus. Yudhoyono juga dianggap tak bisa menyelesaikan masalah. “Sehingga, kini ia tak lagi jadi primadona media.”
MUHAMMAD MUHYIDDIN