TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Kota Yogyakarta menghapus seluruh pungutan sarana dan prasarana bagi siswa sekolah, khususnya di jenjang SMA dan SMK mulai November 2013. Hal ini disampaikan Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Budi Asrori, usai pertemuan dengan Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta, Rabu, 6 November 2013.
"Kami akan segera mengeluarkan surat edaran pada seluruh sekolah, khususnya SMA dan SMK, untuk tidak lagi menarik pungutan dari orang tua siswa," kata Budi.
Keputusan ini diambil setelah anggota Komisi D DPRD menjamin akan menyetujui anggaran APBD Perubahan 2013 untuk mensubsidi biaya investasi sekolah untuk sarana dan prasarana SMA dan SMK di Kota Yogyakarta. Menurut Budi, belanja investasi untuk SMA mencapai Rp 7,1 miliar, sedangkan SMK sekitar Rp 34 miliar. Jumlah seluruh siswa SMA dan SMK di Kota Yogya ada 8200 orang.
"Kebutuhan sarana SMK lebih besar karena SMK ngotot punya pusat pelatihan atau bengkel sendiri," ujar Budi.
Semula, pemerintah mengajukan angka Rp 4 miliar pungutan siswa pada 2014 akan berkurang. Biaya yang akan disubsidi pada siswa itu dalam bentuk tambahan alokasi Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Subsidi untuk siswa SMA akan dibuat menjadi Rp 900 ribu per tahun dari semula Rp 880 ribu, dan untuk satu siswa SMK akan dibuat menjadi Rp 1,2 juta per tahun dari semula Rp 1,1 juta pada 2013 ini.
"Dengan subsidi itu, nanti pungutan yang ditarik pada siswa SMA menjadi Rp 170 ribu per bulan dan siswa SMK menjadi Rp 100 ribu per bulan," kata dia.
Namun kalkulasi ini mendapat tentangan keras dari DPRD. Muhammad Fauzan, anggota Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, menuturkan persoalan pendidikan gratis 12 tahun tidak segera terwujud karena pemerintah tak juga mau menghitung detail kebutuhan siswa agar benar-benar bebas pungutan.
"Ini bukan masalah besar-kecil pungutan, tapi visi yang sudah dijanjikan ke masyarakat mewujudkan pendidikan gratis," kata dia.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menambahkan, kalau ternyata pemerintah dengan alokasi tambahan dana yang diberikan masih juga tak mampu meng-cover kebutuhan siswa, perlu dilakukan perhitungan ulang kebutuhan pendidikan tersebut.
"Pemerintah harus bisa berhitung yang benar dan utuh agar benar-benar tak ada alasan sekolah membebani siswa lagi dengan pungutan itu," ungkap Fauzan.
PRIBADI WICAKSONO