Bergabung ke Gerindra
Sampai hari ini, saya masih saja kesulitan untuk menjawab pertanyaan mengapa sekarang bergabung ke Gerindra. Sulit, karena saya harus meringkaskan 10 tahun perjalanan politik saya ke dalam satu kalimat atau satu paragrap pendek. Tidak mudah memang.
Tapi saya kemudian menemukan jawaban sederhana: jodoh politik. Ibarat jodoh, Gerindra datang sendiri tanpa harus dicari. Saya sudah berupaya selama sepuluh tahun mencari partai yang layak sebagai “pasangan hidup”. Pertama, saya mendekati PAN. Baru "kencan" beberapa kali langsung merasa tidak cocok. Saya “pacaran” lama dengan PDIP. Ketika tidak ada kecocokan, bubar. Coba lagi “pacaran” dengan PDP. Tidak cocok lagi lalu bubar. Sempat jadi "jomblo" sebentar dengan membangun PPN. Ternyata saya enggak kuat "menjomblo". Jadi begitu ada lamaran dari Gerindra, saya menganggapnya sebagai “Pucuk dicinta, ulam tiba”.
Gerindra adalah partai politik yang kelima dalam sejarah perjuangan di front parlementer. Sebuah jumlah yang fantastis, demikian salah seorang rekan FB pernah berkomentar dengan nada sinis. Tapi saya paling tidak masih bisa bangga. Saya pindah partai bukan lantaran kecewa tidak dapat nomor urut bagus atau tidak dapat posisi empuk. Saya pernah membuktikan dalam perjalanan politik saya bahwa meskipun diberi nomor buncit, saya tetap loyal berjuang membela partai. Saya menggunakan Kongres sebagai ajang untuk menyatakan sikap. Saya dipecat dari PDIP karena menginginkan pembaruan.
Saya pun keluar secara terpaksa dari PDP. Partai yang saya harapkan untuk melakukan koreksi terhadap PDIP pun akhirnya terjebak dalam pola tingkah laku yang sama dengan pendahulunya. Saya awalnya hanya menentang pemecatan terhadap I Ketut Bagiada sebagai anggota Pimpinan Kolektif Nasional. Karena saya menentang dengan gigih, saya pun ikut dipecat.
Saya mendirikan PPN pun karena tanggung jawab terhadap mereka yang telah saya pengaruhi untuk ikut menentang pemecatan. Mereka tidak punya kesalahan apa pun. Konflik yang terjadi adalah konflik sesama Pimpinan Kolektif Nasional. Ketika mereka tidak lagi punya induk dan rumah, saya bertanggung jawab untuk menyediakan rumah baru bagi mereka.
Selanjutnya tentang kisah Suku Indian