Setelah beberapa di Belanda, saya pergi ke AS memenuhi undangan Kongres. Pada 6 Mei, di depan Kongres saya memberikan kesaksian sambil meminta agar Kongres menekan pemerintah AS untuk segera menghentikan bantuan militer untuk Indonesia. Esok harinya, saya bertemu dengan National Security Council dan meminta mereka untuk mendesak pemerintah AS agar menarik dukungan atas Soeharto. Keesokan harinya, saya mendapat kabar bahwa bantuan militer untuk Indonesia telah dihentikan.
Dari Washington saya berangkat menuju New York untuk menemui Komisi HAM PBB. Ketika di berada di New York, saya medapat kabar telah terjadi penembakan terhadap sejumlah mahasiswa Trisakti. Kerusuhan besar pun terjadi yang berujung kepada lengsernya Soeharto. Apa yang saya perjuangkan sejak menjadi aktivis mahasiswa kini telah terwujud. Dengan lengsernya Soeharto, jalan menuju pemilu yang benar-benar demokratis telah tersedia. Pada titik ini perjuangan ekstraparlementer saya berakhir.
Pertengahan Juni 1998, saya kembali ke Tanah Air. Sekembali di Tanah Air, saya terlibat bersama kawan ISAI menggagas pembentukan Partai Amanat Nasional. Ketika PAN dideklarasikan, saya diangkat menjadi anggota Departemen Pemuda DPP PAN. Sejak awal saya sudah setengah hati bergabung dengan PAN. Saya lebih suka bergabung dengan PDI Mega. Ketika ada oposisi terhadap kehadiran saya di PAN oleh A.M. Fatwa, saya segera memutuskan hengkang dari PAN dan bergabung ke PDI Mega pada bulan September 1998.
Pada April 1999, Tim Mawar diadili oleh Mahkamah Militer. Saya menolak memberikan kesaksian karena saya yakin yang harus diseret ke pengadilan untuk dimintai pertanggungjawaban adalah Soeharto, sebagai Panglima tertinggi ABRI. Saya menganggap Tim Mawar hanyalah eksekutor di lapangan. Dari data yang terkumpul dapat disimpulkan bahwa penculikan didukung dan dikoordinasikan oleh berbagai instansi dalam tubuh ABRI: Kepolisian, Komando Teritorial (Mabes, Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil), serta aparat intelijen (Bakin, BIA). Jadi, penculikan adalah produk dari kebijakan politik rezim Soeharto.
Prabowo yang saat itu menjadi Panglima Kostrad menyatakan mengambilalih semua tanggung jawab. Mungkin sepanjang sejarah TNI, hanya Prabowo, seorang jenderal bintang tiga, yang berani memikul tanggung jawab komando. Jenderal lain biasanya memilih lepas tanggung jawab dan membebankan kesalahan pada bawahan atas nama kesalahan prosedur. Lewat keputusan Dewan Kehormatan Perwira, Prabowo pun dibebastugaskan. Tidak lama kemudian, Prabowo memilih untuk mengasingkan diri ke Yordania.
Setelah Tim Mawar menjalani hukuman atas penculikan sembilan orang aktivis, Bambang Kristiono, sang komandan, mengambil inisiatif untuk bertemu dengan saya. Dalam pertemuan tersebut, Bambang menyampaikan permintaan maafnya. “Saya melakukan hal tersebut karena tugas,” katanya. Dalam kesempatan tersebut, Bambang Kristiono juga menyatakan bahwa dia dan timnya tidak membunuh aktivis yang belum kembali. Saya ingat kata-katanya: “Pius, lihat mata saya. Saya tidak berbohong. Demi Allah, saya tidak membunuh mereka”. Jika bukan Tim Mawar, lalu siapa? Terhadap pertanyaan ini sampai sekarang tidak ada jawabannya.
Setelah pertemuan itu, kami kemudian bertemu kembali. Kali ini masing-masing membawa istri. Dalam kesempatan itu, BK kembali menyatakan permohonan maafnya atas nama keluarga. Saya dan istri menerima permohonan maafnya. Kami semua adalah korban; korban dari sebuah sistem yang otoriter.
Bagian kedua: