TEMPO.CO, Surakarta - Cendekia ilmu sosial, yang tergabung dalam Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (Hipiis), menilai keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1999-2004, yang menghapus Garis-garis Besar Haluan Negara, sebagai kesalahan fatal.
Tanpa GBHN, pembangunan Indonesia berjalan tanpa arah. Misalnya, paham ekonomi pasar bebas yang dianut Indonesia membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. “Kesenjangan antardaerah juga makin jauh,” kata Ketua Umum Hipiis, Sofian Effendi, usai pembukaan seminar nasional Pengembangan Ilmu Sosial untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, di Auditorium Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Rabu, 23 Oktober 2013.
Kemudian, toleransi beragama mulai dikalahkan eksklusivitas golongan dan budaya bangsa tergerus oleh budaya asing. “Hal ini terjadi karena rakyat tidak lagi dilibatkan dalam pembangunan negara, seiring dicabutnya GBHN,” kata dia.
Setelah GBHN dihapus, program pembangunan menjadi tanggung jawab presiden. Hanya saja, masa jabatan presiden yang maksimal 10 tahun tidak mampu menyelesaikan persoalan bangsa. “Apalagi yang kerap terjadi, presiden baru tidak mau meneruskan program presiden sebelumnya, sehingga tak terjadi kesinambungan program,” kata Sofian.
Tanpa pengikat seperti GBHN, pembangunan tidak akan sinkron antara pusat dan daerah. Untuk itu, dia akan mengajukan usul kepada MPR periode 2009-2014 untuk menghidupkan GBHN. Tanpa arahan pembangunan jangka panjang seperti GBHN, mimpi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-3 di Asia pada 2025 tidak akan terwujud.
Di kesempatan yang sama, Ketua MPR Sidarto Danusubroto, mengakui selama 3,5 bulan menjabat, banyak pihak menyuarakan kekhawatiran akan masa depan bangsa.
Menurutnya, ada kelompok yang menghendaki Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, sebelum amandemen, ada yang ingin UUD 1945 diamandemen untuk kelima kalinya, dan ada yang ingin UU selama masa amandemen 1-4 dicabut, jika berlawanan dengan UUD 1945 hasil amandemen.
“Usulan itu (menghidupkan GBHN), saya terima dengan suka cita. Hanya saja realisasinya tergantung peta politik ke depan. “Karena masa jabatan periode saya tinggal setahun,” kata dia.
UKKY PRIMARTANTYO