TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah tokoh Mahkamah Konstitusi menolak rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) perihal mekanisme pengawasan dan perekrutan hakim konstitusi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menilai penerbitan Perpu merupakan upaya mengebiri Mahkamah. Majelis Kehormatan yang ditunjuk untuk mengawasi MK dinilai tak punya wewenang.
"Masyarakat memang marah karena kasus Akil, tapi jangan membawa institusi dan malah mengganggu otoritasnya," ujar dia saat dihubungi. "Pisahkan pribadi dan institusi. Saya juga mendukung Akil untuk diberi hukuman mati."
Jimly menjelaskan, kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim konstitusi tidak sesuai dengan Pasal 24B ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia 1945, yang ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Dalam putusan bernomor 005/PUU-IV/2006 itu dinyatakan bahwa Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Komisi Yudisial, sepanjang menyangkut kata hakim konstitusi, sudah tidak berlaku lagi.
"Di situ semuanya jelas," ujar Jimly, yang saat itu menjadi ketua majelis konstitusi dalam memutus pasal tersebut. "Ini pasti ada motif inkonstitusional."
Keputusan itu lahir setelah Ketua MK Akil Mochtar ditangkap tangan saat menerima suap terkait pilkada di Lebak, Banten dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah. (Baca: Akal-akalan Putusan Akil, Wani Piro?). Objeknya adalah perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah Kabupaten Gunung Mas yang ditangani panel hakim dengan ketua Akil.
Jimly juga menanggapi pertemuan sejumlah pemimpin lembaga tinggi seperti Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai pertemuan inkonstitusional. "Pertemuan itu seperti arisan keluarga," katanya. "Pisahkan pribadi dan institusi."
Harjono, hakim konstitusi yang juga Ketua Majelis Kehormatan, turut menolak terbitnya Perppu itu. Menurut dia, pengawasan terhadap hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial telah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada 2006. "Jika tetap ingin mengawasi, Komisi Yudisial melanggar putusan secara konstitusi," ujar dia saat dihubungi kemarin.
Perpu itu bermula dari ditangkapnya bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2 Oktober lalu. Akil diduga menerima suap dalam menangani perkara sengketa pemilihan kepala daerah di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, serta Kabupaten Lebak, Banten.
Pascapenangkapan, dua hari yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat bersama sejumlah pemimpin lembaga tinggi negara, termasuk Komisi Yudisial, untuk membahas soal Perpu. Menurut Presiden, pengawasan terhadap hakim konstitusi selama ini hanya bisa dilakukan Majelis Kehormatan setelah adanya dugaan pelanggaran. Pada masa mendatang, pengawasan hakim konstitusi dilakukan sebagaimana pengawasan terhadap hakim lainnya. "Diharapkan Perpu ini tidak dibatalkan melalui judicial review atau uji materi di MK," kata Presiden.
Harjono menyesalkan rencana menerbitkan Perpu tersebut karena Mahkamah sama sekali tidak dilibatkan. Menurut dia, kasus yang menimpa Akil adalah kasus pribadi, bukan terkait dengan institusi.
Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai sebaliknya. Menurut dia, Mahkamah Konstitusi memang berwenang menguji undang-undang, termasuk menguji undang-undang yang mengatur dirinya. Namun, menurut dia, Mahkamah harus menahan diri dan menjunjung tinggi etika agar tidak menguji undang-undang yang berkaitan dengan pengawasan terhadap lembaganya sendiri. "Itu tidak etis," kata Yusril. "Komisi Yudisial berwenang mengawasi hakim konstitusi."
REZA ADITYA | FEBRIANA FIRDAUS | KHAIRUL ANAM | SUKMA
Berita Terpopuler Lainnya
KY Pernah Laporkan Kasus Suap Akil Mochtar
Kasus Akil, Hakim MK Bakal Dilarang dari Parpol?
Soal Ratu Atut, Jawara Banten 'Tantang' KPK