TEMPO.CO, Jakarta - Pada 17 Agustus 1950, sejumlah tokoh seniman dan politik mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang lebih dikenal dengan Lekra. Lembaga itu didirikan untuk mengusung konsep seni kerakyatan untuk mendukung revolusi dan kebudayaan nasional. Dalam berkesenian, para seniman Lekra mesti menjalankan pedoman gerakan kebudayaan dan berkesenian yang dikenal dengan prinsip 1-5-1.
Prinsip itu digagas dalam kongres Lekra yang melibatkan Njoto. Angka satu yang pertama berbunyi "Politik sebagai panglima". Njoto dalam pidatonya di Kongres Lekra mengatakan bahwa politik dan kebudayaan mesti diletakkan pada tempat yang semestinya. "Kekeliruan besar mempersilakan kebudayaan berjalan sendiri, polos, tanpa bimbingan politik," tulisnya kala itu. Politik dalam hal ini dimaknai sebagai cara dan orentasi berpikir, bukan organisasi atau partai politik.
Prinsip pertama itu selanjutnya menjadi pondasi pelaksanaan lima kombinasi kerja dalam berkesenian: memadukan kreativitas individu dengan kearifan massa. Tujuannya supaya karya seni tidak bertentangan dengan cita-cita rakyat, meluas dan meninggi, sebaran karya seni mesti melebar dan tetap unggul di kualitas, tinggi mutu artistik dan ideologi, karya seni mesti mampu memadukan ideologi sebagai isi dan keindahan sebagai bentuknya, memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner, artinya memadukan tradisi yang positif dengan cita-cita modern, memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner.
Sedangkan angka satu terakhir berarti turun ke bawah atau "turba" yang menjadi metode pelaksanaan dari seluruh prinsip sebelumnya. Seniman Lekra diwajibkan untuk blusukan, membaur dan hidup bersama rakyat untuk bisa mengetahui kondisi dan keinginan rakyat. (Baca selengkapnya di majalah Tempo edisi 30 September 2013).
TIM TEMPO