TEMPO.CO, Jakarta - Njoto kerap datang ke rumah di Jalan Wahidin 10, Jakarta Pusat, pada pertengahan 1950-an. Di kediaman M.S. Ashar itulah Wakil Ketua Central Comite Partai Komunis Indonesia ini bertemu dan berdiskusi dengan seniman-seniman muda, termasuk Amrus Natalsya. Kala itu masih berusia 25 tahun, Amrus bolak-balik ke Jakarta untuk mengerjakan pesanan dekorasi dan poster. Dia kerap singgah di rumah yang dipakai sebagai markas Lembaga Kebudayaan Rakyat itu.
Amrus mengenang Njoto sebagai orang yang tak segan-segan mengulurkan tangan kala dia kesulitan dalam urusan pekerjaan. Kalau tak punya uang untuk membeli bahan patung dan lukisan, ”Saya bilang saya perlu kayu, dia membantu,” kata perupa yang kini berusia 80 tahun itu, menceritakan pengalamannya kepada Tempo, awal September lalu.
Di markas tempat Lekra digagas itu, Amrus juga bertemu dengan A.S. Dharta, Henk Ngantung, M.S. Ashar, dan pendiri serta seniman Lekra lainnya. Di antara pendiri Lekra, Njoto paling menonjol.
Lahir pada 1927 di Jember, Jawa Timur, Njoto dikenal sebagai pemuda jenius. Ayahnya, Raden Sosro Hartono, mendidiknya dengan tegas, keras, dan berdisiplin. Pada usia 16 tahun, dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta, wakil Partai Komunis Indonesia Banyuwangi. Padahal, dia masih duduk di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)--setingkat sekolah menengah pertama--di Solo, Jawa Tengah.
Selanjutnya..