TEMPO.CO, Jakarta - Mun'im Idries masih mengingat dengan jelas detil peristiwa penembakan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnain, pada 14 Maret 2009. Baginya, kasus tersebut bukan hanya pembunuhan yang menyeret orang-orang penting sebagai korban dan terhukum. Namun, lebih menjadi pembuktian bahwa ilmu kedokteran forensik bisa menaklukkan rekayasa yang dilakukan manusia.
Setelah melakukan serangkaian penelitian, Mun'im pun membuat kesimpulan yang mengejutkan dalam berkas visum et repertum yang ditekennya pada 30 Maret 2009. "...peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri, diameter kedua anak peluru tersebut 9 milimeter dengan ulir ke kanan, hal tersebut sesuai dengan peluru yang ditembakkan dari senjata api kaliber 0,38 tipe S&W."
Inilah sepenggal kesaksian yang dituliskan Mun’im dalam buku Indonesia X Files. Dalam buku ini, dia mengukuhkan posisinya sebagai dokter ahli forensik, yang akrab dengan diagnosis kasus-kasus kriminal ketimbang keluhan patologis. Pakar dari Universitas Indonesia ini hendak membagi pengalaman dan pengetahuannya tentang fakta mengejutkan di balik kasus-kasus kriminal besar.
Seperti dalam kasus pembunuhan Nasrudin, Mun'im dengan gamblang melontarkan dugaan adanya rekayasa. Dia menyatakan menerima jasad Nasrudin tidak dalam keadaan aslinya. Jenazah itu tidak berbaju dan lubang peluru di kepalanya sudah dijahit. Padahal, bagi dokter forensik, kondisi jenazah tersebut harus persis sama dan lengkap seperti saat dia meninggal.
Mun’im pun menuliskan bahwa dirinya sempat diminta menyerahkan proyektil peluru yang merenggut nyawa Nasrudin oleh seorang polisi. Padahal, pengujian dan rekonstruksi balistik belum kelar dilakukan. Meski tak menuliskan ending kasus ini dengan jelas, toh publik sudah tahu bahwa ada dua penegak hukum yang terseret dalam kasus ini dan pembaca bisa menebak untuk apa serangkaian rekayasa itu dilakukan.
Kasus lain yang cukup menarik dituliskan oleh Mun’im adalah kematian aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. Sebagai pakar forensik, dia tidak percaya begitu saja dengan satu kesimpulan yang menyatakan Munir dibunuh di atas pesawat. Bersama dua koleganya, salah satunya adalah pakar toksikologi (ilmu tentang racun) dari Universitas Udayana, Mun’im menemukan dugaan baru bahwa Munir dibunuh di kafe Coffee Bean di Bandara Changi Singapura.