Dia menyoroti kelemahan dalam manajemen anggaran Indonesia selama ini yang hanya memberikan porsi 30 persen untuk kepentingan belanja modal. Sampai September ini saja, kata dia, nilai belanja modal pemerintah baru sampai 26 persen dari rencana. "Ini akibat birokrasi masih belum dinamis, mereka baru bekerja berdasar perintah atasan saja," ujar dia.
Dia menyimpulkan ada persoalan yang sedang membelit pemerintahan di Indonesia sekarang. Sofian mengkritik aktivitas legislatif yang tidak membantu pekerjaan pemerintah karena hanya menjadi pembuat undang-undang, bukan representasi keterlibatan rakyat di urusan negara.
Masalah ini, kata dia, masih diperberat dengan belum matangnya penataan pemerintahan yang terbagi dalam kategori pusat, provinsi dan kabupaten. Kata dia untuk mengoordinasikan level pemerintahan yang saling otonom, dan memiliki periode pemerintahan berbeda akibat Pilkada tak sesuai jadwal itu, butuh kerja berat. "Ini hil yang mustahal."
Pakar hukum senior dari UGM, Maria S. W. Sumardjono, yang juga menjadi anggota baru AIPI, memberikan kritik keras pula pada perkembangan sistem hukum Indonesia. Dia mengatakan proses pemebentukan undang-undang di Indonesia makin terjebak pragmatisme sehingga banyak menghasilkan produk hukum yang reaktif, sektoral dan transaksional. "Unsur keadilan dan substansi hukum banyak dilupakan," ujar dia yang menyampaikan materi kuliah "Memaknai Kembali Hak Menguasai Negara atas Sumberdaya Alam Pasca Putusan MK".
Maria menyampaikan banyak persoalan yang muncul dalam produk hukum mengenai pengelolaan sumber daya alam. Kata dia prinsip semua kekayaan alam dimiliki oleh negara untuk kepentingan rakyat, seperti disebut di UUD 1945, sering tak dipakai sebagai rujukan. "Di sistem hukum Indonesia baru ada distributive justice (memberikan keadilan), padahal semestinya corrective justice (mengoreksi bentuk keadilan)."