TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa Bom Bali sempat mengoyak ketenangan Bali dan memercikkan ketegangan antara umat Islam dan umat Hindu. Bom yang diledakkan para teroris dan mengatasnamakan agama itu juga bagai menyulut sekam antara pemeluk Hindu dan pemeluk Islam yang semula harmonis. Dalam tragedi ini, tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka. Korban yang jatuh tak hanya dari kalangan wisatawan asing, tapi juga warga setempat. Kehidupan ekonomi dan pariwisata Bali lumpuh. Anak Agung Ngurah Agung kemudian membentuk Persaudaraan Hindu Muslim Bali (PMHB).
Ngurah Agung lalu turun tangan. Ia merangkul tokoh-tokoh muslim dari kantong-kantong Islam, antara lain di Kampung Jawa Wanasari, Kampung Islam Kepaon, dan Kampung Islam Bugis Serangan. Dia memutuskan menghadiri acara-acara ibadah muslim. Sebaliknya, tokoh muslim diundang dalam acara-acara keagamaan dan adat Hindu. (Baca: Kenapa Ngurah Agung Membela Hak Muslim di Bali?)
Kiai Agus Toha Amnan, tokoh muslim Denpasar, menceritakan betapa mencekam hubungan umat Islam dengan umat Hindu setelah tragedi tersebut. Aksi sweeping gencar dilakukan terhadap para pendatang muslim, terutama dari Jawa. Para pendatang yang tak memiliki kartu identitas Bali atau hanya ber-KTP Jawa diinterogasi pengurus banjar setempat.
Diskriminasi sempat muncul di beberapa tempat. Beberapa warga muslim dikucilkan, bahkan dikeluarkan dari pekerjaan. Mereka juga ada yang diminta meninggalkan rumah sewanya. Sejumlah musala di Denpasar disegel warga. Warga muslim tak berani mengenakan peci dan sarung serta menenteng sajadah.
Gus Toha—sapaan Kiai Agus Toha—sendiri merasa dijauhi beberapa sahabatnya yang juga pemeluk Hindu. Padahal, sehari sebelum tragedi itu, hubungan mereka baik-baik saja. “Orang Bali berpikir semua muslim adalah pengebom atau teroris. Padahal, pelakunya kelompok tertentu,” ujarnya.
Gus Toha pun ikut terlibat dalam ikhtiar memperbaiki keadaan ini. Bersama Ngurah Agung, mereka lalu menggelar kegiatan berkeliling. Dalam acara-acara itulah disampaikan pemahaman mengenai Islam, persamaan Islam dan Hindu, serta pluralisme. Pada saat kegiatan berkeliling tersebut, mereka membangun komunikasi dengan aparat kepolisian, pejabat pemerintah, pecalang, juga Banser NU. Hubungan juga dijalin dengan keliyan-keliyan adat, yang berhubungan langsung dan punya pengaruh terhadap warga. “Kegiatan-kegiatan membangun toleransi semacam itu, kalau dilihat dari kacamata sekarang, kesannya biasa. Tapi, pada saat bom Bali meledak, itu sangat berarti,” kata Gus Toha.
PHMB kemudian mengeluarkan ribuan kartu yang bisa menjadi pengganti kartu identitas bagi pendatang muslim. Sepak terjang Ngurah Agung itu dipandang penting untuk menjaga ketenteraman. “Orang yang mempunyai latar belakang puri seperti dia punya pengaruh penting menjaga komunikasi antar-orang Bali dan non-Bali,” kata Agung Putri, pengamat sosial. (Baca: Ngurah Agung, Memulihkan Keretakan Hindu-Muslim)
Seiring dengan pulihnya kehidupan ekonomi Bali sekitar 2009, sentimen atas agama Islam mulai pupus. Konflik-konflik yang tersisa antara warga muslim dan umat Hindu Bali saat ini kebanyakan masalah kawin campur dan motif ekonomi, serta tawuran anak muda yang dibengkokkan menjadi sentimen agama. (Baca: Inilah Lima Tokoh yang Merekatkan Indonesia)
NIEKE INDRIETTA
Berita Terkait:
Bela Syiah-Ahmadiyah, Ini Tantangan Bupati Kholiq
Syiah, Ahmadiyah, dan NU Hidup Damai di Wonosobo
Bupati Kholiq, Perekat Syiah, Ahmadiyah, Minoritas
Lian Gogali, Si Kristen Kawan Kombatan Muslim
Lian Gogali Ubah Trauma Jadi Agen Perdamaian
Tuan Guru Subki Lulusan Arab Saudi
Subki Sasaki Tak Takut Bela Ahmadiyah