TEMPO.CO, Medan - “Gila kamu Sofyan, mana mungkin orang miskin seperti kamu mau menolong orang miskin?” kata Sofyan Tan. Pendiri sekaligus Ketua Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, Medan, itu menirukan pertanyaan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Sarwono Kusumaatmadja, saat bertemu dirinya pada awal era 1990-an.
Perkataan Sarwono itu menjadi pelecut Tan untuk mempertahankan sekolahnya. “Waktu itu saya jawab pasti bisa! Kenapa harus tak bisa? Tapi, setelah saya pikir sekarang, nekat dan gila juga saya,” kata lelaki 54 tahun itu terbahak.
Baca juga:
Sofyan Tan adalah pendiri sekolah pembauran Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda. Tahun ini sekolah Sofyan genap berusia 25 tahun. Sejak diinisiasi pada 1987, kemudian beroperasi pada Agustus 1988, perguruan ini terus berkembang. Murid yang awalnya hanya tercatat 171 orang, dari tahun ke tahun jumlahnya terus membengkak.
Ketika ditemui Tempo, Juli 2013 lalu, Sofyan bercerita panjang lebar soal penghayatannya pada multikulturalisme dan toleransi. Gagasan Sofyan mendirikan sekolah yang mengajarkan pembauran dan toleransi berawal dari pengalamannya beranjak dewasa.
Sejak kecil, Sofyan mulai mengamati secara serius kehidupan Hisar, ayahnya. Dengan menjahit, Hisar menghidupi keluarga yang besar. Tan memiliki sembilan saudara. “Saya perhatikan Papa orang yang mudah bergaul dan memiliki hubungan baik dengan siapa pun, tak pandang etnis. Karena itu, saat dia meninggal, semua bantuan datang dari siapa pun. Mengagumkan,” kata dia.
Prahara kemudian beruntun datang setelah ayahnya wafat pada 1980. Sofyan, yang kala itu baru masuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia, terpaksa pontang-panting nyambi bekerja sebagai guru biologi di SMA Sutomo lantaran kehidupan ekonomi sepeninggal papanya menjadi sangat berat.
Setamat kuliah, dokter Sofyan muda membuat keputusan gila. Ia memutuskan untuk tidak membuka praktek dokter selamanya, profesi yang selama ini dia idam-idamkan. Dia melupakan kemungkinan bisa mendapatkan banyak uang dari praktek dokter.
Bersama kawannya, Soekirman, ia berhasrat meneruskan rencananya membangun sekolah pembauran. Pada 1987, berbekal seuprit modal dan utang ke sana-sini, dia mulai mewujudkan mimpinya.
SANDY INDRA PRATAMA
Berita Terpopuler:
5 Teknologi yang Mengancam Manusia
Ini Kronologi Aksi Gadis Pemotong 'Burung'
Sidang Kasus Cebongan, Hakim dan Oditur Ketakutan
Mantan Napi Ungkap Kengerian Penjara Korea Utara
Beragam Penyebab Rupiah Terjun Bebas