TEMPO.CO, Jakarta - Jangan heran bila mendengar salawat yang terdengar dari Puri Gerenceng-Pemecutan, Jalan Diponegoro, Denpasar, dan bukannya doa-doa pemujaan Hindu. Seperti pada Selasa sore pertengahan Juli 2013, saat Tempo berkunjung ke sana. Ratusan anggota jemaah di dalam puri terlihat khusyuk mendaras doa dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW tersebut. Mereka memenuhi halaman dan pendopo hingga penuh sesak.
Hari itu, sang tuan rumah, Anak Agung Ngurah Agung, memang tengah menyelenggarakan acara buka puasa bersama komunitas muslim Kota Denpasar. Tak kurang ada delapan ratus orang yang datang. Mereka bersantap hidangan buka, untuk selanjutnya salat magrib di tempat yang sama.
Bagi Ngurah Agung, kegiatan ini bukan baru pertama kali ia gelar. Pada tahun-tahun sebelumnya, ia juga mengadakan acara serupa. Hal ini dia lakukan sebagai bagian dari ikhtiarnya menjaga hubungan baik antar-umat beragama di Pulau Dewata itu. Tak hanya mengundang untuk acara buka puasa bersama, dia juga kerap hadir dalam kegiatan-kegiatan Islami. Sebaliknya, Ketua Perhimpunan Muslim-Hindu Bali ini sering melibatkan tokoh muslim dalam kegiatan-kegiatan Hindu. Ngurah Agung bahkan beberapa kali memberi tausiah. “Saya juga bisa berzikir, lho,” kata dia seraya melantunkannya kepada Tempo.
Ketika bom Bali mengoyak ketenangan Bali dan memercikkan ketegangan antara umat Islam dan umat Hindu, ia membentuk Persaudaraan Hindu Muslim Bali (PMHB). Bom yang diledakkan para teroris dan mengatasnamakan agama itu juga bagai menyulut sekam antara pemeluk Hindu dan pemeluk Islam yang semula harmonis. Dalam tragedi ini, tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka. Korban yang jatuh tak hanya dari kalangan wisatawan asing, tapi juga warga setempat. Kehidupan ekonomi dan pariwisata Bali lumpuh.
Retaknya hubungan umat Islam dengan umat Hindu Bali setelah pengeboman tersebut, menurut pengamat sosial Agung Putri, lantaran faktor ambruknya kehidupan ekonomi Bali. Pariwisata lumpuh karena cap teror dan tidak aman yang menempel pada Bali. “Kebetulan pelaku bom Bali adalah muslim, sehingga muncul sentimen anti-Islam.”
Seiring dengan pulihnya kehidupan ekonomi Bali sekitar 2009, sentimen atas agama Islam mulai pupus. Konflik-konflik yang tersisa antara warga muslim dan umat Hindu Bali saat ini kebanyakan masalah kawin campur dan motif ekonomi, serta tawuran anak muda yang dibengkokkan menjadi sentimen agama. (Baca: Inilah Lima Tokoh yang Merekatkan Indonesia)
NIEKE INDRIETTA
Berita Terkait:
Syiah, Ahmadiyah, dan NU Hidup Damai di Wonosobo
Bupati Kholiq, Perekat Syiah, Ahmadiyah, Minoritas
Lian Gogali, Si Kristen Kawan Kombatan Muslim
Lian Gogali Ubah Trauma Jadi Agen Perdamaian
Tuan Guru Subki Lulusan Arab Saudi
Subki Sasaki Tak Takut Bela Ahmadiyah