TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Nudirman Munir, mengkritik pengadilan tertinggi Indonesia, Mahkamah Agung, sebagai lembaga yang tertutup dan angker. Paling parah, tidak ada transparansi yang dijunjung oleh Mahkamah, baik masalah persidangan maupun masalah teknis lainnya.
Saking tidak transparannya, sidang Mahkamah sangat sulit diakses masyarakat umum, meski dari aturan sidang Mahkamah terbuka untuk umum. "Sidang MA terbuka untuk umum, itu bohong," kata Nudirman dengan suara lantang dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 27 Juli 2013.
Bukan perkara mudah bagi masyarakat untuk menyaksikan sebuah sidang di Mahkamah. Bahkan, untuk memasuki gedung Mahkamah terbilang sulit. Nudirman masih ingat peristiwa seorang pria tua yang diusir dari gedung Mahkamah lantaran memakai sendal jepit.
Mahkamah juga tak ramah bagi pengacara. Nudirman yang juga mantan pengacara, ini bercerita susahnya meminta salinan putusan sidang. Entah apa sebabnya, panitera sidang seakan memperlama waktu kerja mereka.
"Seharusnya meminta salinan putusan tidak lama, sekarang kalau tidak dikasih uang pelicin tidak bakal cepat," kata dia. "Mengandalkan informasi putusan melalui situs resmi Mahkamah, sama saja susahnya."
Atas ketertutupan Mahkamah ini memberi ruang dan kesempatan pihak-pihak yang berperkara untuk melakukan praktek suap. Walhasil, banyak putusan Hakim Agung yang secara manusiawi berat sebelah.
Komisi Hukum, kata Nudirman, sudah punya sejumlah pekerjaan rumah membenahi masalah ini. Salah satunya akan merumuskan Rancangan Undang-undang Mahkamah Agung. "Salah satu poinnya mengevaluasi ketidaktransaparan kinerja MA."
Kasus terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi baru saja melakukan operasi tangkap tangan terhadap seorang pegawai Badan Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, Djodi Supratman. Djodi diduga menerima suap puluhan juta rupiah dari pengacara Mario C. Bernardo. Walhasil keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
INDRA WIJAYA