TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Beasiswa Supersemar mendapatkan dana dari sisa laba bersih bank-bank pemerintah. Dana yayasan juga dialirkan ke perusahaan keluarga dan kroni Soeharto.
Laporan Majalah Tempo edisi 17 Februari 2008 menyebutkan, penyaluran duit bank-bank pemerintah untuk Yayasan Supersemar dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976. Peraturan ini dikuatkan lagi lewat Keputusan Menteri Keuangan yang mengharuskan setiap bank menyetor 50 persen dari 5 persen sisa laba bersih mereka ke rekening yayasan. Penyelewengan duit negara dilakukan selama Soeharto menjabat sebagai presiden. Kejaksaan menemukan aliran dana yayasan ke sejumlah perusahaan seperti Sempati Air, Bank Duta, Kiani Lestari, dan Kiani Sakti, serta kelompok usaha Kosgoro.
Pada 9 Juli 2007, tim pengacara negara dari Kejaksaan Agung menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pihak tergugat diminta membayar ganti rugi material sebesar dana yang diperoleh yayasan. Selain itu, Kejaksaan Agung juga menuntut ganti rugi imaterial Rp 10 triliun. Persidangan pertama dilakukan Agustus 2007.
Babak baru kasus ini terjadi setelah Soeharto meninggal pada 27 Januari 2008. Tim jaksa dari Kejaksaan Agung pun mengalihkan gugatan kepada enam anak Soeharto. "Sama halnya dengan hak mereka mendapatkan harta warisan ayahnya," kata anggota tim jaksa, Yoseph Suardi Sabda pada awal 2008. Keenam ahli waris tersebut adalah Siti Hardijanti Hastuti, Sigit, Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Dua kali putusan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi mengantarkan Yayasan Soeharto ke tahapan kasasi ke Mahkamah Agung. Ketua majelis kasasi, Harifin A. Tumpa, menjatuhkan hukuman denda sebesar US$ 315 juta dan Rp 185 miliar kepada anak-anak Soeharto dan Yayasan Supersemar.
Tak disangka, hasil ketikan putusan melenceng dari putusan tersebut. Dalam putusan gugatan Nomor 2896K/Pdt/2009 tertulis denda yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar sebesar US$ 315 juta dan Rp 185 juta. Denda dalam nominasi rupiah itu 1.000 kali lebih kecil dibanding putusan sebenarnya.
Dihubungi melalui telepon, Harifin mengakui lalai dalam membuat ketikan putusan. "Saya salah karena saya yang mengoreksi terakhir berkas putusan," ujar dia kepada Tempo, Rabu, 24 Juli 2013. Bekas Ketua Mahkamah Agung itu menyatakan siap menerima konsekuensi akibat kelalaian itu.
TIM TEMPO
Topik Terhangat
Bayi Kate Middleton | Front Pembela Islam | Bisnis Yusuf Mansur | Aksi Chelsea di GBK | Daging Sapi Impor
Berita Terpopuler:
FPI Hina Presiden SBY? Ini Kata Kapolri
Joko Anwar Berkicau tentang FPI
Jenderal Penangkap Nazaruddin Juga Calon Kapolri
Kompolnas: Tak Ada Calon Kapolri yang Bersih
Chelsea Terancam Batal Tampil di GBK